Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Dagang Redupkan Proyeksi Harga Minyak 

Perang dagang Amerika Serikat dan China yang tak berkesudahan telah meredupkan harapan harga minyak mentah global tahun ini.
Perang dagang AS-China/istimewa
Perang dagang AS-China/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -  Perang dagang Amerika Serikat dan China yang tak berkesudahan telah meredupkan harapan harga minyak mentah global tahun ini.  

Dalam sebuah jajak pendapat yang digelar Reuters baru-baru ini, sejumlah analis memangkas perkiraan mereka terhadap harga minyak ke level terendah dalam lebih dari 16 bulan terakhir.

Proyeksi tersebut dilatarbelakangi perlambatan ekonomi yang terus membayangi, serta ketidakpastian perang dagang antara AS dan China.

Survei terhadap 51 ekonom dan analis memproyeksikan, harga minyak Brent bakal berada pada level US$65,02 per barel pada tahun ini, turun sekitar 4 persen dari proyeksi bulan sebelumnya, yaitu US$67,47 per barel. Level tersebut merupakan yang terendah 2019 untuk Brent sejak Maret 2018.

Sejauh tahun ini, harga Brent dipatok pada level rata-rata US$65,08 per barel.

Sementara, perkiraan 2019 untuk minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dipangkas ke level terendah sejak Januari 2018, yaitu US$57,90 per barel, di bawah perkiraan US$59,29 per barel pada bulan lalu. Adapun sejak awal tahun, harga minyak WTI memiliki rata-rata US$57,13 per barel.

Analis ANZ Soni Kumari mengatakan perselisihan dagang yang sedang berlangsung antara AS dan China dan kemunculan risiko perlambatan ekonomi akan menjadi faktor kunci bagi harga minyak pada sisa akhir tahun ini.

“Konflik perdagangan yang berlarut-larut bisa memperdalam perlambatan ekonomi dan selanjutnya berdampak pada pertumbuhan permintaan [minyak],” ujarnya.

Perlu diketahui, perselisihan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut telah menjadi biang kerok di balik penurunan sekitar 20 persen harga minyak dari level tertinggi 2019 yang dicapai pada April. Sengketa dagang kembali memanas baru-baru ini usai Beijing mengumumkan tarif impor minyak mentah AS pada pekan lalu.

Di samping itu, pelemahan harga juga telah mengurangi efek pemotongan produksi yang dipimpin oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Melihat kondisi saat ini, menurut beberapa analis, kelompok tersebut berpeluang memperpanjang kembali pemangkasan di luar kesepakatan hingga 2020.

Di sisi lain, permintaan global diperkirakan akan tumbuh sebesar 0,9 – 1,3 juta barel per hari pada 2019, dibandingkan dengan proyeksi Juli 0,1 – 1,4 juta barel per hari.

Norbert Ruecker, kepala ekonomi dan penelitian di bank Swiss Julius Baer mengatakan, permintaan minyak sedang diatur untuk kontrak berjangka di negara-negara maju, sementara di negara berkembang pertumbuhannya lebih lambat.

"Sementara kami melihat kebijakan moneter yang agresif mengakhiri penurunan [permintaan] dan memperpanjang siklus ekonomi, tetapi tahun depan diperkirakan tingkat pertumbuhan [ekonomi] loyo untuk mengangkat permintaan minyak secara berarti,” kata Ruecker.

DUKUNGAN

Kendati demikian, para analis memperkirakan, harga minyak bisa memperoleh dukungan yang terbatas dari ketegangan di Timur Tengah, sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela, dan pertumbuhan lamban produksi minyak AS.

Oliver Allen, ekonom di Capital Economics mengatakan, meski pihaknya memproyeksikan ketegangan perdagangan antara AS dan China akan meningkat, dan pertumbuhan global melambat, pasar minyak kemungkinan bereaksi berlebihan terhadap berita buruk tentang permintaan.  

“Tampaknya pasar telah kehilangan fokus pada latar belakang pasokan yang terbatas,” kata Allan.

Morgan Stanley sebelumnya juga menurunkan perkiraan harga minyak di sisa tahun ini, menyusul lemahnya prospek ekonomi, goyahnya permintaan, dan tingginya produksi minyak serpih AS.

Bank AS itu memotong perkiraan untuk harga Brent menjadi US$60 per barel dari US$65 per barel. Mereka juga memangkas perkiraan harga WTI menjadi US$55 per barel dari US$58 per barel.

Dalam pernyataannya mereka mencatat, perlambatan pertumbuhan permintaan minyak yang berlangsung dari awal tahun ini belum berakhir. “Pertumbuhan permintaan minyak telah melunak karena pertumbuhan ekonomi global telah melambat,” kata mereka.

Sementara itu, pada pekan lalu, berdasarkan data Bloomberg, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) ditutup anjlok 2,84 persen atau 1,61 poin ke posisi US$55,10 per barel, Jumat (30/8). Adapun harga minyak mentah Brent merosot 2,05 persen atau 1,24 poin ke posisi US$59,25 per barel. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper