Bisnis.com, JAKARTA— PT Bumi Resources Tbk. memproyeksikan kinerja akan membaik pada akhir 2019 apabila harga batu bara mampu menembus level US$85 per ton.
"Kalau harga batu bara US$85 per ton kinerja keuangan kami seharusnya bisa membaik,” ujar Direktur Bumi Resources Andrew Christopher Beckham di Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Andrew mengharapkan harga batu bara akan pulih. Pihaknya melihat peluang kenaikan menjadi sekitar US$70 per ton—US$80 per ton.
Dia menyebut salah satu faktor yang akan mengerek harga batu bara yakni penurunan pasokan karena musim dingin dan musim hujan. Selain itu, pihaknya berharap Amerika Serikat dan China akan menemukan solusi yang lebih baik.
Berdasarkan laporan keuangan semester I/2019, emiten berkode saham BUMI itu membukukan pendapatan US$481,35 juta. Pencapaian itu turun 14,15% dari US$560,72 juta pada semester I/2018.
Dari situ, BUMI mengantongi laba bersih US$80,67 juta pada semester I/2019. Realisasi tergerus 46,78% dari US$151,72 juta periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga
Dileep Srivastava, Director & Corporate Secretary Bumi Resources, menjelaskan bahwa realisasi harga lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi itu disebabkan pasar batu bara yang melemah.
Di tengah kondisi itu, dia menyebut perseroan fokus dalam melakukan optimalisasi biasa dan memaksimalkan penjualan.
“Kami menargetkan volume yang lebih tinggi pada semester II/2019 dan meningkatkan strategi pemasaran,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (31/7/2019).
Pihaknya mengklaim laba operasional perseroan tetap dipertahankan meski pendapatan lebih rendah. Menurutnya, realisasi laba bersih US$80 juta terbilang wajar di tengah kondisi saat ini.
“Bisa saja [laba bersih] lebih tinggi tetapi kami perlu memperhitungkan bunga pinjaman. Kami masih menargetkan 88 juta ton hingga 90 juta ton,” jelasnya.
Sebagai gambaran, BUMI mengincar produksi 88 juta ton hingga 90 juta ton pada 2019. Jumlah itu berasal dari PT Kaltim Prima Coal (KPC) 60 juta ton dan PT Arutmin Indonesia (AI) 28 juta ton hingga 30 juta ton.