Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak turun untuk hari keempat, penurunan terpanjang dalam lebih dari 5 pekan terakhir, usai eskalasi terbaru dalam perang perdagangan mengejutkan investor dan memperburuk prospek permintaan global minyak.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 13:48 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) jatuh 1,16% atau 0,63 poin ke posisi US$53,54 per barel. Harga minyak mentah Brent turun 0,91% atau 0,54 poin ke posisi US$58,80 per barel.
Pada pekan lalu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) ditutup anjlok 2,13% atau 1,18 poin ke posisi US$54,17 per barel, pada pekan lalu, Jumat (23/8/2019). Sementara itu, harga minyak Brent melemah 0,97% atau 0,58 poin ke posisi US$59,34 per barel.
Harga minyak anjlok selepas Pemerintah China memberlakukan tarif pembalasan pada barang-barang AS senilai US$75 miliar, termasuk minyak mentah untuk pertama kalinya. Tak tinggal diam, Presiden AS Donald Trump membalasnya dengan menaikkan tarif tambahan untuk barang-barang China, dan juga menyerukan perusahaan-perusahaan Amerika untuk menarik diri dari Negeri Panda.
Howie Lee, ekonom di Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) mengatakan, sistem perdagangan global berada dalam dalam situasi anarkis. “Tak ada akhir dalam pertumpahan darah saat ini, dan mungkin akan membutuhkan banyak hal guna menarik pasar keluar dari persoalan ini,” katanya.
Beijing akan mengenakan tarif 5% pada impor minyak mentah Amerika mulai 1 September mendatang. China, yang merupakan pembeli utama minyak Amerika, telah mengurangi pengiriman karena perang perdagangan memburuk.
Baca Juga
Dua pejabat tinggi Gedung Putih mengatakan Presiden Trump memiliki wewenang untuk memaksa perusahaan-perusahaan Amerika meninggalkan China, meskipun para pakar perdagangan tidak begitu yakin.
Trump mengutip undang-undang tahun 1977 tentang kekuatan ekonomi darurat, yang telah didesak oleh beberapa pendukung garis dalam 2 tahun terakhir.
Ekonom Lee mengatakan, apabila perusahaan-perusahaan AS dipaksa untuk keluar dari China, hal itu berarti makin mengukuhkan kebijakan proteksionis AS dan meninggalkan globalisasi.