Bisnis.com, JAKARTA - Penguatan dolar AS terbukti hampir tidak terbendung. Greenback telah berhasil menguat selama 5 perdagangan berturut-turut dan menyentuh level tertingginya sepanjang 2019.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (20/8/2019) hingga pukul 16.08 WIB, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor telah bergerak menguat 0,05 persen menjadi 98,398. Sepanjang tahun berjalan, indeks dolar AS telah bergerak menguat 2,32 persen.
Ahli Strategi Mata Uang Bank of New York Mellon John Velis mengatakan bahwa dolar AS berhasil menguat karena investor mulai beralih ke aset berisiko seperti saham dan mulai menjauh dari aset safe haven.
Selain itu, indeks dolar AS juga mendapatkan katalis positif setelah Presiden Federal Reserve Boston Eric Rosengren meremehkan AS yang memerlukan pemotongan suku bunga lebih banyak.
“Kami skeptis bahwa pelonggaran Fed akan melemahkan dolar AS secara signifikan, karena bank sentral lain diperkirakan akan mengurangi suku bunga acuannya lebih banyak dari The Fed,” ujar John seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (20/8/2019).
Pada pemangkasan suku bunga acuan The Fed pada Juli lalu, alih-alih melemah, dolar AS justru bergerak menguat karena komentar hawkish yang dilontarkan oleh Presiden The Fed Jerome Powell.
Baca Juga
Sementara itu, Ahli Strategi Mata Uang Daiwa Securities Yukio Ishizuki mengatakan bahwa imbal hasil obligasi AS untuk tenor 10 tahun yang berhasil pulih dari posisi terendahnya dalam 3 tahun, sebagian dibantu oleh Jerman yang mengabaikan aturan anggaran berimbang untuk meningkatkan pengeluaran dan pertumbuhan ekonominya.
“Dolar AS bergerak lebih tinggi secara keseluruhan, mengikuti rebound dari imbal hasil obligasi. Prospek Jerman yang memulai stimulus adalah titik balik dan dolar AS telah mendapatkan kembali momentum naik sejak saat itu,” ujar dia seperti dikutip dari Reuters, Selasa (20/8/2019).
Laju indeks dolar AS (DXY) per 20 Agustus 2019, pukul 16.36 WIB./Bloomberg
Kendati demikian, apa yang baik untuk dolar AS adalah buruk bagi aset lain. Lonjakan tersebut cenderung mengikis keuntungan perusahaan multinasional AS yang menjadi salah satu faktor penguat ekonomi AS.
Presiden AS Donald Trump pun berulang kali mengeluhkan tingginya nilai dolar AS dan mengharapkan The Fed untuk segera mengambil langkah dengan pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut untuk membantu agenda perekenomian dirinya.
Lonjakan dolar AS juga meningkatkan biaya bagi perusahaan asing yang memiliki triliunan utang dalam mata uang dolar AS sehingga penguatan lebih lanjut akan memperlambat pertumbuhan perusahaan dan akan berimbas pada ekonomi AS.
Beberapa analis bahkan menyebutkan bahwa pergerakan dolar AS merupakan salah satu katalis potensial untuk resesi AS dan resesi global berikutnya.
Global Head of FX Strategy Morgan Stanley Hans Redeker mengatakan bahwa meningkatnya dolar AS telah mendorong penurunan belanja modal di sebagian besar negara di dunia yang menyebabkan deleveraging oleh perusahaan yang berbasis di luar perbatasan AS.
Dia menilai pergerakan greenback sudah terlalu tinggi sebesar 10% sehingga siklus pelonggaran Federal Reserve dinilai harus diperpanjang dan bank sentral utama lainnya pun akan terdorong untuk melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, hal tersebut akhirnya dapat melemahkan dolar AS dan dapat memperbaiki kondisi ekonomi global.
"Apresiasi dolar AS dalam beberapa bulan terakhir menciptakan ketatnya moneter di mana-mana," ujar Hans.
Brandywine Global Investment Management Jack McIntyre mengatakan apresiasi dolar yang signifikan telah memperburuk hasil keuangan untuk perusahaan S&P 500, yang pada akhirnya menyebabkan lebih sedikit pekerjaan dan lebih banyak pengangguran.
Dengan sendirinya dolar AS yang kuat akan memicu resesi AS yang akan menyeret pertumbuhan global juga.
McIntyre melihat siklus bearish terhadap dolar AS akan dimulai tahun depan dan berpotensi berlangsung selama 5 tahun hingga 7 tahun. Dirinya melihat mata uang AS akan turun sebanyak 25% dalam 5 tahun ke depan.