Bisnis.com, JAKARTA – Investor pasar saham Hong Kong ramai-ramai melepaskan kepemilikan saham mereka akibat tertekan kekhawatiran pergolakan ekonomi, aksi demonstrasi, dan melemahnya nilai tukar yuan China.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks MSCI Hong Kong melemah 0,8 persen di jeda siang perdagangan hari ini, Selasa (6/8/2019), dan bergerak menuju penurunan hari ke-10 berturut-turut.
Sehari sebelumnya, aksi demonstrasi massa memukul jalanan di perkotaan serta memicu kekacauan lalu lintas, aksi kekerasan, tembakan gas air mata, dan pembatalan penerbangan.
Terakhir kali bursa saham Hong Kong mengalami rangkaian penurunan beruntun sedemikian rupa adalah pada periode Juni-Juli 1984, lima bulan sebelum Inggris dan China menandatangani Deklarasi Bersama China-Inggris untuk penyerahan Hong Kong kepada China pada tahun 1997.
Sejalan dengan indeks MSCI Hong Kong, indeks saham acuan Hang Seng, yang mencakup saham perusahaan-perusahaan China dengan pendapatan dalam yuan, turun 0,7 persen ke level 25.966,59.
Saham perusahaan-perusahaan teknologi dan pengembang berada di antara yang membukukan penurunan terbesar pada indeks Hang Seng. Saham Hang Lung Properties Ltd. anjlok 5,2 persen dan AAC Technologies Holdings Inc. turun 3 persen.
Baca Juga
Kepercayaan bisnis di Hong Kong, yang sudah terbebani perang dagang AS-China, menghadapi tantangan baru karena bentrokan yang terjadi di jalanan akhir-akhir ini menggerus pengeluaran dan memengaruhi wisatawan.
Menurut laporan South China Morning Post, sejumlah pejabat dari Kantor Urusan Hong Kong dan Makau di Beijing berencana untuk memberikan keterangan kepada media dan membuat pengumuman baru pada hari ini waktu setempat.
“Investor masih sangat khawatir dan situasinya tidak membaik,” ujar Linus Yip, kepala strategi di First Shanghai Securities.
“Tekanan jual masih besar. Kekhawatiran di antaranya disebabkan eskalasi perang dagang, depresiasi yuan dan situasi politik lokal. Saya pikir 25.000 adalah level kunci untuk Indeks Hang Seng, dan kehilangan level support ini akan menyebabkan tekanan jual ekstra.”
Bursa saham di daratan China ikut melemah, dengan indeks saham acuan Shanghai Composite Index jatuh 3,1 persen dan indeks CSI 300 anjlok 2,7 persen.
Nilai tukar yuan, untuk pertama kalinya sejak 2008, melemah hingga melampaui level 7 yuan per dolar AS setelah Bank Sentral China, People’s Bank of China (PBoC) menetapkan nilai referensi harian lebih rendah dari 6,9 untuk pertama kalinya sejak Desember pada Senin (5/8/2019).
Sebagian investor melihat pergerakan yuan itu sebagai respons langsung pemerintah China atas rencana tarif terbaru dari AS untuk mengenakan tarif 10 persen terhadap sisa impor senilai US$300 miliar asal China mulai 1 September.
Menanggapi pelemahan yuan, dalam akun Twitter miliknya pada Senin (5/8), Trump mencirikan langkah itu sebagai "manipulasi mata uang" dan mengindikasikan keinginannya agar bank sentral AS Federal Reserve aksi China.
Dalam sebuah pernyataan pada hari yang sama, Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berhubungan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menghilangkan keunggulan kompetitif tidak adil yang diciptakan oleh tindakan terbaru China.
Kemudian pada Selasa (6/8), Bank Sentral China menyatakan menjual uang kertas berdenominasi yuan di Hong Kong. Langkah ini dipandang membatasi aksi short selling mata uang tersebut dan mampu mengikis sebagian penurunan pasar saham hari ini.
“Ini tentang kepanikan yang disebabkan oleh depresiasi tajam renminbi, ketidakpastian politik dan eskalasi perang perdagangan,” jelas Carie Li, seorang ekonom di OCBC Wing Hang Bank.
“Pasar telah menjadi lebih sensitif terhadap potensi risiko outflow dan oleh karena itu sedang mempersiapkannya dengan menimbun uang tunai atau lindung nilai.”