Bisnis.com, JAKARTA – Gejolak perang perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China kembali menggoyang investor pasar saham di Asia. Penurunan pasar namun mampu melambat setelah China menetapkan tingkat referensi yuan yang lebih kuat dari perkiraan analis.
Bursa saham di Asia dilaporkan memerah pada perdagangan pagi ini, Selasa (6/8/2019), dengan indeks Topix Jepang merosot 1,9 persen. Indeks saham futures AS juga membukukan penurunan yang sama sebelum mempersempit pelemahannya menjadi 0,7 persen.
“Ketegangan perdagangan AS-China telah meningkat di luar dugaan saya,” ujar Hiroshi Matsumoto, kepala investasi Jepang di Pictet Asset Management Ltd., Tokyo.
“Kami telah mengurangi sedikit bobot pada saham-saham. Sebaliknya, kami telah meningkatkan posisi cash dan sedikit bobot pada obligasi,” lanjutnya, seperti dilansir dari Bloomberg.
Pada akhir perdagangan Senin (5/8/2019), indeks S&P 500 anjlok sekitar 3 persen setelah China dikabarkan membiarkan nilai tukar mata uangnya jatuh sebagai pembalasan atas rencana pengenaan tarif 10 persen terhadap sisa impor China oleh pemerintah AS mulai 1 September.
Aksi China tersebut menyulut reaksi keras Presiden Donald Trump yang menyebut China sebagai manipulator mata uang. Dalam sebuah pernyataan pada Senin (5/8), Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pun menyatakan bahwa pemerintah telah menentukan China memanipulasi mata uangnya.
Baca Juga
Namun kemudian pada Selasa (6/8), Bank Sentral China menyatakan menjual uang kertas berdenominasi yuan di Hong Kong. Langkah ini dipandang membatasi aksi short selling mata uang tersebut.
Langkah tersebut juga menetapkan tingkat referensi harian untuk perdagangan di China yang sedikit lebih kuat dari yang diperkirakan pasar, meskipun masih di level terlemahnya sejak Mei 2008.
PBOC menetapkan tingkat referensi harian pada 6,9683 per dolar, lebih kuat dari perkiraan level 6.9871 dalam survei Bloomberg terhadap 19 pelaku pasar dan analis.
Tetap saja, bagi banyak investor di Asia, gejolak terbaru perang dagang antara AS dan China semakin mendorong mereka memburu aset-aset perlindungan seperti emas dan yen.
Sementara itu, pasar modal mulai dari Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, hingga Indonesia terus terseret ke wilayah negatif tahun ini.
“Saya rasa saham-saham Asia belum telah cukup melemah untuk menjamin adanya perubahan strategi. Sepertinya kita tidak berada di titik itu saat ini,” tutur Chris Weston, kepala riset di Pepperstone Group, Australia.
“Mungkin titik itu akan muncul jika bank-bank sentral melakukan intervensi pada mata uang. Tanda-tanda [Presiden China] Xi dan Trump yang kembali ke meja negosiasi juga akan membantu,” tambahnya.
Di sisi lain, Olivier d'Assier, kepala riset terapan untuk Asia Pasifik di Axioma, Singapura, menyebut tiga faktor risiko terbesar bagi pasar saat ini.
“Tiga faktor terbesarnya yakni Donald Trump, Boris Johnson, dan Shinzo Abe. Tempat terbaik (teraman) adalah saham berkapitalisasi besar yang bernilai, menguntungkan, tanpa utang, dengan pembayaran dividen tinggi,” papar d'Assier.
“Kami melihat investor melarikan dananya ke aset safe haven global seperti yen, emas, obligasi AS, dan ini kemungkinan akan berlanjut dalam jangka pendek mengingat tingginya ketidakpastian yang disebabkan oleh situasi geopolitik saat ini.”