Bisnis.com, JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk menghapus pencatatan saham atau delisting milik PT Sekawan Intipratama Tbk. (SIAP) pada 17 Juni 2019. Kasus delisting tidak hanya terjadi pada SIAP, tetapi ada beberapa eks emiten yang juga cabut dari bursa dengan berbagai alasan.
Merujuk Peraturan Bursa Nomor I-I tentang penghapusan pencatatan dan pencatatan kembali saham di bursa, delisting terjadi jika perusahaan itu mengalami kondisi atau peristiwa yang berpengaruh negatif terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka. Selain itu, delisting dilakukan jika perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Masih belum diketahui secara detail penyebab SIAP delisting.
Jika melihat kinerja keuangan, laporan keuangan SIAP yang terakhir rilis adalah 2018.
Pada periode itu, SIAP mencatatkan kerugian senilai Rp15,3 miliar. Nilai kerugian itu lebih besar ketimbang 2017 yang senilai Rp10,58 miliar.
Sampai 2018, komposisi pemegang saham SIAP antara lain, 20,73% dipegang oleh Fundamental Resources Pte., Ltd., 5,88% dipegang oleh UBS AG Singapore, 10,97% PT Evio Securities, 6,15% PT Sucorinvest Inti Investama, dan 56,27% dipegang publik.
Baca Juga
Jumlah pemegang saham publik yang cukup besar membuat investor harus bersiap-siap bernegosiasi di pasar sekunder.
Bursa Efek Indonesia memberikan waktu 10 Juni - 14 Juni 2019 untuk bertransaksi di pasar negosiasi. SIAP pun resmi delisting pada 17 Juni 2019.
Selain SIAP, ada beberapa eks emite yang memiliki kisah ketika harus pergi dari BEI baik sukarela maupun terpaksa karena keadaan. Berikut eks emiten tersebut :
PT Bank Nusantara Parahyangan
Bank Nusantara Parahyangan harus cabut dari BEI seiring dengan rencana merger dengan PT Bank Danamon Tbk. Perseroan sudah sekitar 18 tahun tercatat sebagai perusahaan publik.
Aksi merger dilakukan setelah pemegang saham perseroan, MUFG, mengakuisisi PT Bank Danamon Tbk.
Sesuai aturan, MUFG pun harus melakukan merger atas dua bank yang dimilikinya di Indonesia. Alhasil, BBNP harus dimerger dengan Bank Danamon.
PT Taisho Pharmaceutical Indonesia
Taisho Pharmaceutical Indonesia merupakan subsidiary dari Taisho Pharmaceutical Co., perusahaan farmasi yang berbasis di Tokyo, Jepang.
Perseroan mengajukan surat pengunduran diri ke BEI pada Oktober 2017 dan resmi mengundurkan diri dari pasar saham domestik pada Maret 2018.
Sebelumnya, saham eks emiten berkode SQBB itu sudah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 2009.
SQBB disebut melakukan delisting setelah tidak mampu memenuhi persyaratan BEI. Terakhir, emiten itu tidak bisa memenuhi ketentuan saham free float sebesar 7,5%.
Sampai akhir delisting, saham publik SQBB hanya sebesar 2%.
PT Berau Coal Energy
Berau Coal Energy resmi delisting dari BEI pada November 2017 setelah tujuh tahun melantai di sana.
Eks emiten berkode BRAU itu harus meninggalkan bursa setelah ada kisruh internal di perusahaan sektor batu bara tersebut. Kisruh itu terjadi setelah jajaran direksi anyar BRAU melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada April 2015.
Namun, RUPSLB itu bermasalah karena beberapa jajaran direksi baru itu dianggap batal karena kasus izin rencana penggunaan tenaga asing.
Kisruh internal itu membuat saham BRAU disuspensi oleh BEI sejak 4 Mei 2015. Suspensi itu berjalan selama 24 bulan sehingga BEI punya kuasa untuk melakukan delisting paksa.
Akhirnya, sebulan sebelum delisting, BRAU langsung menyelesaikan tender offer. Sayangnya, hingga tenggat waktu delisting, ada 3,25 miliar saham BRAU yang dipegang oleh pemegang saham minoritas.
Alhasil, saham itu mengendap di Kustodian Efek Indonesia (KSEI) dalam bentuk scriptless. Pada awal 2018, pemegang saham minoritas BRAU mendapatkan opsi baru yakni, konversi sahamnya menjadi warkat.
PT Citra Maharlika Nusantara Corpora
Citra Maharlika Nusantara Corpora melakukan pencatatan pada Juli 2013 dan keluar dari bursa pada Oktober 2017. BEI melakukan delisting pada eks emiten dengan kode CPGT karena perusahaan mengalami kondisi yang tidak baik.
Sebelumnya pada 2014, beberapa petinggi CPGT ditahan polisi terkait dugaan kasus penggelapan dan penipuan koperasi Cipaganti. Penipuan dilakukan dengan cara penghimpunan dana dari mitra sejak 2008 hingga 2014 sekitar Rp3,2 triliun dengan tujuan untuk mengembangkan bisnis.
Namun, uang itu malah digunakan untuk kebutuhan perusahaan petinggi CPGT. Kasus itu membuat saham CPGT langsung anjlok puluhan persen.
Pada April 2017, BEI menghentikan sementara perdagangan efek CPGT karena perusahaan sudah berada pada kondisi pailit serta harta pailit dalam keadaan insolvensi.
Suspensi dilakukan lantaran adanya penyitaan aset unit kendaraan dan alat berat perusahaan oleh pihak pajak. Sampai akhirnya, eks emiten itu harus delisting dari BEI pada Oktober 2017.
PT Aqua Golden Mississippi Tbk (AQUA)
Produsen air minum ini resmi dihapus dari pencatatan efek pada April 2011 setelah pemegang saham AQUA setuju dengan rencana manajemen untuk delisting dan berubah menjadi perusahaan tertutup.
Upaya go private sebenarnya sudah direncanakan sejak kuartal I tahun 2009, tetapi terus tertunda. Salah satu penyebabnya lantaran para pemegang saham minoritas selalu menolak melepaskan saham yang mereka miliki.
Menurut pemegang saham minoritas, harga tender offer yang ditawarkan pihak AQUA waktu itu sangat kecil, yakni Rp450.000 per saham, sedangkan mereka meminta Rp1 juta per saham.
Namun, pemegang saham minoritas akhirnya setuju di harga Rp500.000 per saham. Untuk delisting itu, PT Tirta Investama selaku pemegang saham utama harus merogoh kocek hingga Rp358 miliar untuk membeli saham milik publik tersebut.