Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak kelapa sawit masih berada di zona merah pada perdagangan Rabu (27/2/2019). Selain dibebani oleh ekspektasi lemahnya permintaan dan tingginya produksi, hal itu juga dipicu oleh menguatnya mata uang ringgit.
Seorang trader mengatakan, perkasanya ringgit di hadapan dolar AS semakin menghajar harga bahan baku minyak goreng tersebut. Persoalannya, ketika ringgit menguat maka harga minyak itu menjadi mahal bagi pembeli asing.
“Ringgit lebih kuat, dan ada pula ekspektasi produksi yang lebih tinggi pada Februari dan Maret,” kata soerang trader yang berbasis di Kuala Lumpur, dikutip dari Bloomberg, Rabu (27/2/2019).
Sampai pukul 16:33 WIB, mata uang ringgit masih menguat 0,007% atau 0,17 poin di level 4,0645 ringgit per dolar AS. Di lain pihak, data resmi terbaru menunjukkan, produksi minyak sawit di Malaysia turun 3,9 % pada Januari menjadi 1,74 juta ton dari bulan sebelumnya. Namun, levelnya masih lebih tinggi dari 1,59 juta ton produksi yang tercatat pada Januari tahun lalu, dan 1,28 juta ton pada 2017.
Seorang trader Malaysia lainnya mengatakan, pembicaraan tentang perjanjian perdagangan antara AS dan China juga ikut mengurangi sentimen pasar terhadap minyak sawit.
"Bagi saya, berita ini tidak begitu baik untuk kelapa sawit karena China akan membeli kedelai, sehingga mengurangi impor minyak sawit mereka," katanya.
Baca Juga
Minggu (24/2),Presiden Donald Trump mengatakan akan menunda kenaikan tarif AS untuk barang-barang Tiongkok, berkat pembicaraan perdagangan yang produktif. Dia mengisyaratkan untuk bertemu Presiden Cina Xi Jinping untuk menyegel kesepakatan.
Sekretaris Pertanian AS juga mengatakan, China telah berkomitmen untuk membeli 10 juta ton kedelai AS tambahan. China mengimpor kedelai untuk digiling untuk dimakan, serta mendukung industri peternakannya, meninggalkan soy oil sebagai produk sampingan dan mengurangi kebutuhan untuk mengimpor kelapa sawit.