Bisnis.com, JAKARTA – Logam industri yang berkaitan dengan pembuatan baja sempat melorot tajam dengan karena kekhawatian akan perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dengan harga timah menyentuh level terendah selama dua tahun.
Harga baja rebar di bursa Shanghai mengalami kenaikan tipis setelah pada perdagangan hari sebelumnya anjlok ke level terendah sejak Juni tahun ini karena adanya pelemahan permintaan dan jumlah pasokan yang menyentuh rekor.
Tercatat pada Rabu (28/11) harga baja rebar tercatat naik 22 poin atau 0,61% menjadi 3.611 yuan per ton dari penutupan perdagangan sesi sebelumnya. Pada Senin (26/11), harganya sempat anjlok 107 poin atau 2,90% menjadi 3.586 yuan per ton dan sempat naik tipis pada perdagangan Selasa (27/11).
Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dirinya siap menambah tarif senilai US$200 miliar pada barang China menjadi 25% dari sebelumnya hanya 10%. Trump dijadwalkan bertemua dengan Presiden China Xi Jinping pada pertemuan Group of 20 (G20) di Buenos Aires pada akhir pekan ini.
Analis di ABN Amro Casper Burgering mengatakan bahwa pada saat ini sentimen menjadi faktor utama yang akan menjadi penggerak harga. Investor ingin menetahui apa akan terjadi pada kesepakatan perdagangan antara AS dan China.
“Sentimen makro yang cukup buruk menambah tekanan pada pergerakan harga seng dan timah, yang menjadi bahan pembuat baja,” ungkapnya, dikutip dari Reuters, Rabu (28/11).
Baca Juga
Harga seng pada Rabu (28/11) di London Metal Exchange (LME) mengalami penurunan 52 poin atau 2,09% menjadi US$2.435 per ton dan mencatatkan penurunan secara year-to-date (ytd) mencapai 26,63%. Harga tersebut mendekati yang terendah pada pertengahan September lalu di US$2.420,50 per ton.
Adapun, harga timah tercatat turun 625 poin atau 3,31% menjadi US$18.275 per ton dan membukukan pelemahan 8,74% selama 2018 berjalan.
Direktur Pengelola Asosiasi Timah Internasional (ITA) Davis Bishop dalam laporan harian mengatakan bahwa pasar timah global diperkirakan akan mengalami surplus hingga 500 ton pada tahun depan dari defisit 7.500 ton pada 2018.
“Hal ini terutama disebabkan oleh pelemahan permintaan dari China,” paparnya.
Di Indonesia sendiri, perdagangan timah di bursa menghadapi masalah police line dengan adanya dugaan pengiriman timah ilegal dari gudang PT Tantra Karya Sejahtera di Bangka Belitung. Hal itu sangat merugikan bagi industri timah di Indonesia, dari penambang, smelter hingga negara.
Komisaris Utama Bursa Derivatif Komoditi Indonesia (BKDI) Said Aqil Siraj mengatakan bahwa kerugian pada penerimaan devisa negara yang bisa dihasilkan dari terhentinya perdagangan timah atas kasus tersebut bisa mencapai Rp2 triliun per bulan.
“Hal itu membuat kegiatan ekspor timah Indonesia terganggu, penurunan devisa negara juga, belum lagi reputasi pemerintah dan BKDI dalam perdagangan timah dunia bisa hancur, dan kepercayaan industri timah internasional pada Indonesia hilang,” ungkap Said saat ditemui Bisnis di Jakarta, Senin (27/11).
Adapun, masalah ini telah digulirkan BKDI kepada Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), akan tetapi hingga saat ini pihak BKDI merasa belum mendapat solusi yang memuaskan.
Terkait dengan hal tersebut, Kepala Bappebti Indrasari Wisni Wardhana mengatakan akan menyerahkan penyelesaian kasus itu pada penyidik dan pihak berwenang. Bappebti merasa telah memberikan solusi agar industri timah menggunakan lembaga surveyor lain agar proses perdagangan timah bisa tetap dijalankan.
Sebelumnya, pada Oktober juga ekspor timah Indonesia tercatat mengalami penurunan ekspor sekitar 40%. Namun, menurut Indrasari, hal itu tidak menjadi penyebab utama pelemahan harga timah ke level terendah selama dua tahun karena masih banyak penyebab lain dari luar negeri yang lebih berpengaruh pada pergerakan harga.