Proyek infrastruktur bernilai ratusan triliun ditawarkan pemerintah kepada pihak swasta, salah satunya melalui program pembiayaan investasi non-anggaran pemerintah (PINA). Lalu, sejauh mana ketertarikan investor jangka panjang untuk bisa turut serta berinvestasi dalam proyek-proyek tersebut?
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro merinci ada sejumlah pembangunan proyek strategis nasional dengan pipeline senilai Rp570 triliun yang ditawarkan melalui Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah atau PINA. Sejumlah proyek tersebut terdiri atas proyek jalan tol sebesar Rp300 triliun, tujuh pelabuhan hub internasional Rp70 triliun, dan dua kilang minyak senilai Rp200 triliun.
Skema pembiayaan infrastruktur terbaru yang digagas pemerintah tersebut digadang-gadang sebagai solusi tepat keterbatasan pendanaan APBN di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur saat ini. Ya, dengan proyek infrastruktur hampir Rp5.000 triliun, sudah dipastikan pemerintah tidak akan mampu membiayai seluruhnya dengan menggunakan APBN, maupun APBD.
Dengan skema PINA, pendanaan infrastruktur strategis terbuka untuk dibiayai investor (dalam bentuk ekuitas) ataupun bank dan lembaga (dalam bentuk pinjaman). Proyek PINA, seluruhnya murni dijalankan oleh pihak swasta.
Lewat skema yang bakal melengkapi pembiayaan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) tersebut pemerintah juga ingin mengirim sinyal kepada swasta yang membutuhkan modal dalam membangun proyek infrastruktur strategis untuk bisa difasilitasi dalam hal tambahan dana.
Namun, sejauh mana ketertarikan investor terhadap proyek-proyek tersebut? Bagaimana cara meyakinkan investor? Menjawab hal tersebut, investor butuh yang namanya pihak ketiga. Di sinilah peran perusahaan sekuritas yang memiliki izin penjaminan emisi efek (underwriter) dibutuhkan.
Di sela-sela acara Underwriting Network 2017 yang digelar di Bali beberapa waktu lalu, Bambang mendorong perusahaan sekuritas atau underwriter dalam meningkatkan pembiayaan infrastruktur. Pasalnya, dengan target pembangunan infrastruktur yang progresif dan keseriusan pemerintah dalam percepatan pembangunan, peran underwriter akan menjadi sangat signifikan dalam mempertemukan investee dan investor jangka panjang.
Ia mengatakan bahwa pembiayaan proyek KPBU dan PINA yang memiliki rentang waktu jangka panjang membutuhkan sumber-sumber pembiayaan dari instrumen investasi seperti penawaran umum perdana saham (IPO), penerbitan obligasi jangka panjang, dan reksa dana penyertaan terbatas (RDPT).
"Maka itu underwriter berperan dalam penyiapan, penyusunan dan penjaminan penggalangan dana di pasar modal dan pasar uang dengan mempertemukan pelaku usaha PINA dengan investor-investor pengelola dana jangka panjang," katanya.
Rudy Utomo, Direktur Evergreen Capital menjelaskan, proyek pembangunan infrastruktur merupakan proyek jangka panjang yang tentunya memerlukan investasi jangka panjang. Investor jangka panjang tersebut seperti dana pensiun, reksa dana, asuransi, dan sebagainya.
Jadi, jika investor-investor jangka panjang tersebut ingin berinvestasi di proyek infrastruktur melalui pasar modal, misalnya saja dalam proyek jalan tol, maka peran underwriter adalah mempertemukan mereka dengan investee atau pengelola proyek dimaksud.
“Jadi, underwriter mencarikan, mempertemukan, kemudian tinggal manajer investasi yang mengemas produknya, misalnya bisa lewat reksa dana penyertaan terbatas (RDPT),” jelas Rudy saat dihubungiBisnis, Selasa (14/3/2017).
Di satu sisi, investor jangka panjang tersebut butuh yang namanya cash flow. “Cash flow terkait pembayaran klaim, kemudian terkait redemption untuk investor reksa dana dan sebagainya. Jadi, apa yang mereka butuh itu, itu yang bisa dikemas underwriter,” tambahnya.
Selain melalui produk RDPT dan sejenisnya, bisa juga melalui penawaran perdana saham (initial public offering/IPO). Hanya saja , perusahaan yang baru melakukan IPO belum memiliki recurring income sehingga dianggap memiliki risiko yang tinggi.
PERAN UNDERWRITER
Peran underwriter dinilai sangat signifikan dalam hal ini. Pasalnya, hingga saat ini ketertarikan atau minat investor jangka panjang terhadap produk investasi yang menyasar proyek masih rendah. Sementara, pembangunan infrastruktur harus terus berjalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurut Rudy, investor dapen, asuransi, dan reksa dana memang memiliki arahan investasi sehingga tidak bisa melakukan sembarang investasi.“Diharapkan yang sudah memberikan income, return menarik dan tentunya ada komitmen dari pemerintah. Harus diberi keyakinan bahwa proyek tersebut akan lancar dan tidak mandek. Investor itu butuh rasa aman,” tambahnya.
Dia menilai, memang seharusnya ada arahan dari instansi terkait, dalam hal ini OJK, agar investor-investor tersebut berinvestasi di proyek infrastruktur. Selain meyakinkan investor, underwriter juga perlu meyakinkaninvestee untuk mencari pendanaan melalui pasar modal, baik melalui RDPT atau produk lainnya.
Terkait dengan pengembangan produk investasi untuk infrastruktur, Direktur Utama Mandiri Manajemen Investasi Muhammad Hanif mengatakan, pemerintah perlu meyakinkan investor jangka panjang atau institusi, seperti BPJS, dana pensiun, dan perusahaan asuransi untuk berinvestasi pada produk berorientasi jangka panjang.
Pasalnya, tidak mudah untuk mengajak mereka. “Tidak semudah itu. Banyak risiko ini dan itu. Semua memang berangan-angan. Rasa takut mereka tidak diikuti dengan keinginan mereka untuk ke sana, mereka tidak ingin ada penurunan investasi,” ujar Hanif dalam kesempatan terpisah di acaraUnderwriting Network 2017.
Awal tahun, Mandiri Manajemen Investasimenerbitkan RDPT Mandiri Infrastruktur Ekuitas. RDPT tersebut berinvestasi pada proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan. Dana kelolaan RDPT tersebut ditargetkan mencapai Rp350 miliar-Rp400 miliar.Adapun, fokusnya investasinya pada 10 proyek minihidro berkapasitas sekitar 30 MW dengan akuisisi 60% saham perusahaan sasaran sehingga RDPT ini menjadi majority shareholder.
Selain Mandiri Infrastruktur Ekuitas, sejumlah produk RDPT yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia a.l RDPT PNM Pembiayaan Mikro BUMN 2016, RDPT Bowsprit Properti Fund 6, RDPT Danareksa BUMN Fund Infrastruktur yang merupakan hasil kerja sama dengan PT Len Industri (Persero), dan lainnya.
Bambang Brodjonegoro berharap paraunderwriter bisa meyakinkan investor jangka panjang untuk turut serta dalam pembangunan infrastruktur, dengan cara melakukan investasi melalui pasar modal.
“Tugas anda (underwriter) meyakinkan dana pensiun, asuransi, BPJS, reksa dana melalui investasi di pasar modal. Berikanlah keyakinan sebaik-baiknya kepada pengelola investasi jangka panjang,” jelas Bambang.
Dia meyakinkan, proyek yang masuk dalam skema PINA merupakan proyek yang memilikiinternal rate of return (IRR) di atas 13%. Menurutnya, ada sejumlah proyek infrastruktur yang saat ini dalam proses dan menggunakan skema pembiayaan PINA. Sejumlah proyek ini masuk dalam kategoriimmediate.
Proyek-proyek tersebut adalah Waskita Toll Road Tahap 2 oleh Waskita Toll Road dengan nilai investasi Rp70 triliun. Waskita Toll Road juga memegang proyek Tok Becakayu dengan nilai investasi Rp7,2 triliun, PP Energi dengan proywk PLTU Meulaboh dengan investasi Rp7 triliun, Indonesia Power untuk proyek PLTU Kalbar dengan investasi Rp5,3 triliun dan Hutama Karya untuk proyek Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi - Parapat dengan investasi Rp8 triliun.
"Sebagian besar masih dalam tahap 1 atau pemetaan kebutuhan dan profil proyek," jelasnya.