Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah sekuritas mengeluarkan riset terbaru mereka terkait proyeksi kinerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) usai emiten bank himbara tersebut merilis laporan keuangan semester I/2025.
Dalam Januari-Juni 2025, BRI membukukan laba bersih konsolidasian yang dapat diatribusikan kepada pemilik sebesar Rp26,28 triliun, terkoreksi 11,53% year on year (YoY) dibanding Rp29,7 triliun dalam semester I/2204.
Sementara itu, net interest income atau pendapatan bunga bersih BRI tumbuh 2,8% YoY dari Rp71,28 triliun menjadi Rp73,27 triliun. Sedangakan, margin bunga bersih atau net interest income (NIM) BRI menurun dari 6,81% menjadi 6,58% pada bulan keenam tahun ini.
Menilik pergerakan saham, BBRI dalam penutupan perdagangan hari ini, Jumat (8/8/2025) turun 10 poin atau 0,27% menjadi Rp3.700. Hari ini BBRI dibuka di harga Rp3.710 dan bergerak di rentang Rp3.700-Rp3.730. Sebanyak 133,18 juta saham ditransaksikan dengan nilai mencapai Rp493,98 miliar.
Sedangkan, price to earnings ratio (PER) dan price to book value ratio (PBVR) BBRI masing-masing sebesar 10,67 kali dan 1,78 kali. Market cap BBRI mencapai Rp560,77 triliun.
Sinarmas Sekuritas merilis proyeksi kinerja keuangan BBRI terbaru. Analis Sinarmas Sekuritas Ivan Purnama dalam risetnya mengkoreksi target laba bersih BBRI di akhir 2025 mencapai Rp55,08 triliun, turun tipis dari proyeksi awal sebesar Rp55,16 triliun. Meski turun, proyeksi laba bersih BBRI sepanjang 2026 naik 5% dari Rp61,3 triliun menjadi Rp64,35 triliun.
Baca Juga
Pendapatan bunga bersih di akhir 2025 diproyeksi sebesar Rp144,65 triliun, naik 9% dari proyeksi awal Rp133,24 triliun. Sementara untuk periode 2026 proyeksi terbarunya menjadi Rp157,46 triliun, naik 13% dibanding proyeksi awal sebesar Rp138,89 triliun.
Sedangkan, NIM diproyeksi menjadi 7,7% atau meningkat dari proyeksi awal di level 7,3%. Proyeksi NIM di periode 2026 juga dikerek, dari 7,5% menjadi 8,0%.
"Kami melihat adanya peluang perbaikan di paruh kedua 2025, terutama dari pendapatan non bunga dan normalisasi biaya kredit (cost of credit/CoC) pada kuartal kedua 2025," kata Ivan dalam risetnya, dikutip Jumat (8/8/2025).
Proyeksi OCBC Sekuritas terhadap laba bersih BBRI di tahun ini sedikit lebih rendah. Budi Rustando dan Farrel Nathanael dalam risetnya memproyeksi laba bersih BBRI di akhir 2025 dapat mencapai Rp54,56 triliun, lalu menjadi Rp56,57 triliun pada periode 2026.
Proyeksi untuk pendapatan bunga bersih di akhir 2025 mencapai Rp148,10 triliun, lalu diproyeksi meningkat jadi Rp156,99 triliun di akhir 2026. Sampai akhir 2025 nanti, PER diproyeksi akan berada di level 10,2 kali dan PBV ada di 1,7. Selanjutnya di akhir 2026 diproyeksikan PBV masih tetap dan PER menjadi 9,9 kali.
Riset tersebut menjabarkan sejumlah faktor yang mendukung prospek BBRI tetap positif, antara lain adalah pemulihan pertumbuhan kredit seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, kemudian adanya peningkatan NIM, kualitas aset yang tetap terjaga dengan rasio pencadangan yang memadai, peningkatan pendapatan berbasis komisi atau fee-based income, hingga pengelolaan likuiditas dan permodalan yang konservatif.
Sebaliknya, OCBC juga menjabarkan beberapa faktor penghambat. "Pertumbuhan kredit dan NIM yang lebih rendah dari perkiraan, kebijakan moneter ketat yang berlanjut, dan penurunan kualitas aset," tulis riset tersebut.
Kinerja keuangan BBRI diproyeksikan Samuel Sekuritas lebih rendah lagi. Riset yang diterbitkan 1 Agustus 2025 tersebut memproyeksi laba bersih BBRI di akhir 2025 mencapai Rp54,17 triliun, lalu meningkat menjadi Rp59,74 triliun pada akhir 2026. Laba bersih BBRI baru akan melampaui capaian 2024 pada 2027, dengan proyeksi mencapai Rp65,14 triliun.
Sedangkan, pendapatan bunga bersih di akhir 2025 diproyeksi mencapai Rp154,47 triliun, menjadi Rp168,05 triliun di akhir 2026, dan menjadi Rp183,55 triliun di akhir 2027.
PER BBRI diproyeksi berada di posisi 10 kali di akhir 2025, lalu diproyeksikan terus mengecil menjadi 9 kali di akhir 2026 dan 8,3 kali di akhir 2027. Sedangkan, PBV diproyeksi berada di 1,8 kali di akhir tahun, menjadi 1,7 kali di akhir 2026 dan menjadi 1,6 kali di akhir 2027.
"Risiko utama yang perlu dicermati adalah pemulihan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan, kenaikan biaya kredit, beban operasional yang lebih tinggi, NIM dan pertumbuhan kredit yang lebih rendah," tulis riset Samuel Sekuritas.
________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.