Bisnis.com, JAKARTA--Pengelola bioskop Blitz Megaplex PT Graha Layar Prima Tbk. menerapkan strategi konservatif di tengah gempuran masuknya investor asing ke bisnis layar lebar.
Direktur Utama Graha Layar Prima Bernard Kent Sondakh menuturkan perseroan menargetkan ekspansi tahun depan dengan membuka bioskop di 10 lokasi dengan rerata tahunan 10-15 pembukaan baru.
"Target pendapatan tahun depan bisa naik 20%. Tahun ini bisa tercapai dari target," ujarnya, Kamis (15/12/2016).
Terkait serbuan investor asing ke Indonesia, manajemen emiten bersandi saham BLTZ tersebut mengaku tidak akan mendapatkan tambahan modal investor asal Korea Selatan. Pertengahan tahun ini, pemilik modal BLTZ asal Negeri Ginseng itu telah menyuntik modal Rp331,7 miliar lewat rights issue.
Aksi rights issue yang digelar oleh BLTZ pada pertengahan tahun ini, membuat perseroan meraup dana segar Rp650 miliar. Dananya digunakan untuk membayar utang Rp250 miliar dan Rp400 miliar bagi kebutuhan ekspansi pembukaan tujuh bioskop baru.
Investor Korea Selatan bertindak selaku pembeli siaga dalam rights issue itu. Masuknya investor asal Korea Selatan tersebut membuat nama bioskop milik perseroan diubah menjadi CGV Blitz. Cheil Jedang Cheil Golden Village atau CGV CO. Ltd., pelan-pelan masuk sebagai pemegang saham perseroan.
Per 30 September 2016, kepemilikan CJ CGV Co. Ltd., telah mencapai 22,99%, di bawah PT Layar Persada 37,27%. Sisanya, digenggam oleh IKT Holdings Limited 11,4%, PT Layar Persada 10,98%, PT Pangea Adi Benua 0,12%, PT Catur Kusuma Abadi Jaya 0,04%, PT Pangea Abadi Benua 0,03%, dan publik 17,18%.
Johan Yudha Santosa, Direktur Keuangan Graha Layar Prima, menambahkan strategi perseroan pada tahun depan dengan membuka bioskop baru di kota-kota ketiga yang dikombinasi dengan kota pusat. Pertumbuhan bisnis di kota-kota ketiga itu terbilang moncer dalam beberapa tahun terakhir.
"Sekarang kelihatannya di kota-kota ketiga, seperti di Purwokerto, Mojokerto, dan kota-kota kecil yang bagus. Kami mixed, ada potensi seperti di Green Pramuka, juga kami buka. Ada riset bagus dan berpotensi, kami ke sana," imbuhnya.
Tahun depan, perseroan menyiapkan anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) sama dengan tahun ini antara Rp300 miliar-Rp400 miliar. Anggaran yang dirogoh dari kas internal itu direncanakan untuk membangun 10-15 lokasi bioskop.
Tahun ini, perseroan telah merampungkan pembukaan 8 lokasi bioskop baru. Kini, Blitz telah mengoperasikan 24 bioskop dengan 170 layar. Padahal, sebelumnya perseroan baru memiliki 7 bioskop dan 68 layar pada 2012.
Anggaran belanja modal diperoleh dari dana hasil rights issue pertengahan tahun ini. Perseroan mengkaji rencana pinjaman perbankan bila diperlukan lantaran leverage rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) masih cukup lebar.
"Ekuitas kami Rp1 triliun dan loan Rp1 miliar, jadi masih lebar. Capex untuk membuka satu bioskop sekitar Rp30 miliar-Rp40 miliar, jadi total kebutuhan sekitar Rp300 miliar-Rp400 miliar," tuturnya.
Pendapatan Blitz melonjak 50,4% menjadi Rp430,97 miliar hingga kuartal III/2016 dari sebelumnya Rp286,52 miliar. Kerugian bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk juga menipis drastis 81,3% menjadi Rp5,83 miliar dari Rp31,34 miliar.
PT Nusantara Sejahtera Raya, pengelola jaringan bioskop Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premier, pada awal bulan ini mendapatkan suntikan dana dari BUMN Singapura, Goverentment of Singapore Investment Corporation (GIC) Private Limited.
Perusahaan aset manajemen keuangan itu mengguyur bioskop 21 senilai US$265 juta, setara Rp3,5 triliun. Manajemen Nusantara Sejahtera Raya telah mengoperasikan 157 bioskop di 36 kota di Indonesia.
Tak tertinggal, Grup Lippo melalui bendera PT Cinemaxx Global Pasifik dengan merek Cinemaxx jor-joran memasuki bisnis bioskop. Deutsche Bank ditunjuk untuk menggalang dana US$100 juta demi membuka 2.000 layar bioskop di seluruh Indonesia.
Bahkan, sejak masuk ke dalam industri bioskop, Grup Lippo menargetkan akan membuka 2.000 layar, 300 kompleks bioskop di 85 kota di Tanah Air dalam 10 tahun ke depan. Targetnya, lini bisnis ini dapat menyumbang pendapatan US$500 juta pada 2020 dan US$1 miliar pada 2024.
Potensi bisnis bioskop memang masih gurih. Perbandingan layar bioskop dengan jumlah penduduk di Indonesia seharusnya mencapai 9.000-15.000 dari saat ini sebanyak 1.200 layar.
Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) mencatat hingga Mei 2016, total layar bioskop di Indonesia mencapai 1.175 layar. Jumlah tersebut meningkat 6% dari periode yang sama tahun lalu.
Sejak pemerintah resmi mencoret sektor perfilman dari daftar negatif investasi (DNI) pada pertengahan 2016, calon-calon investor asing telah mengantre masuk Tanah Air. Investor asing diperbolehkan menggenggam kepemilikan saham hingga 100% seperti tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X.
Sementara itu, PT Bursa Efek Indonesia mengawasi perdagangan saham BLTZ lantaran terjadi peningkatan harga dan aktivitas di luar kebiasaan (unusual market aktivity/UMA). BEI mencermati perkembangan pola transaksi saham BLTZ.
Saham BLTZ tercatat telah meroket 60,86% dari Rp4.600 per lembar pada 5 Desember 2016, menjadi Rp7.400 per lembar pada 14 Desember 2016. Bahkan, level tersebut menjadi capaian tertinggi harga saham BLTZ selama setahun terakhir.
Pada perdagangan Kamis (15/12/2016), saham BLTZ ditutup terkoreksi 1,35% sebesar 100 poin ke level Rp7.300 per lembar. Imbal hasil saham BLTZ mencapai 62,22% sejak awal tahun dengan kapitalisasi pasar Rp3,19 triliun.