Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pelemahan indeks harga saham gabungan hingga 5,58% ke level 4.313,52 perlu dicermati, tetapi belum mengarah pada kondisi pada 2008 saat krisis keuangan global terjadi.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan pihaknya terus melakukan pengawasan untuk melihat penyebab serta langkah yang akan diambil sesuai kebutuhan yang ada, baik dari sisi pa sar modal maupun industri keuangan non bank lainnya.
“Sekarang tidak seperti itu [2008]. Kami cermati, tapi tidak memprediksi. Kami awasi, lihat penyebab, langkah apa yang bisa diambil sesuai ketentuan yang ada,” katanya seusai rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) di Kementerian Keuangan, Senin (19/8/2013) malam.
Rapat ini dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Mar towardojo, Ketua OJK Muliaman D. Hadad, Kepala Lembaga Penjamin Sim pan an (LPS) Mirza Adityaswa ra, Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang P.S. Brodjonegoro dan Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu Robert Pakpahan.
Nurhaida memastikan pihaknya belum akan mengambil langkah yang sama dengan yang dilakukan pada 2008, seperti memberi kesempatan kepada perusahaan untuk buyback saham tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
PENGARUH MERRILL LYNCH
Menteri Keuangan M. Chatib Basri menyampaikan rontoknya IHSG dan depresiasi rupiah ini terjadi karena sen timen negative atas rencana penutupan Merrill Lynch. “Itu dari sisi eksternal yang kemudian men-drive stock market, capital market, kemudian nilai tukar jatuh,” katanya.
Dari sisi internal, lanjutnya, perkembangan defisit transaksi berjalan yang melebar pada kuartal II/2013 menjadi US$9,8 miliar atau setara 4,4% dari produk domestik bruto (PDB) semakin menekan rupiah.
Kombinasi faktor eksternal dan internal itu membuat IHSG ditutup anjlok 5,58% ke level 4.313,52 pada perdagangan Senin (19/8/2013). Pelemahan sejalan dengan pergerakan bursa regional yang memerah, tetapi IHSG paling terpuruk. Hang Seng melemah 0,24%, bursa Korea turun 0,13%, bursa Singapura terkoreksi 0,76%, sedangkan Nikkei 225 menguat 0,79%.
Sementara itu, rupiah terdepresiasi 103 poin atau 0,99% menuju Rp10.533 per dolar AS, terendah dalam 4 tahun terakhir. Pada transaksi kemarin, rupiah sempat menyentuh Rp10.608, terendah sejak kuar tal I/2009. Mayoritas mata uang Asia lainnya juga ter tekan oleh penguatan dolar AS.
Chatib menegaskan kekhawatiran pasar tidak perlu berlanjut karena ada harapan defisit transaksi berjalan akan menyempit pada kuartal III/2013 karena impor minyak menyusut seiring dengan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi mulai 22 Juni.
Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong mengatakan faktor utama untuk menjaga nilai rupiah adalah dengan menaikkan suku bunga BI Rate. “Harus dinaikkan. Kalau tidak dijaga berba ha ya sekali, bisa sam pai Rp11.000.”
Namun demikian, Kepala Riset PT Monex Investindo Future Ariston Tjendra mengatakan saat ini tindakan BI untuk mengerek nilai rupiah tak akan berpengaruh signifikan.