Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Bergejolak Lagi Tak Pupuskan Minat IPO di Lantai Bursa

Sejumlah perusahaan tetap berminat melancarkan aksi initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia saat kondisi IHSG bergejolak lagi tengah tahun ini.
Warga melintas di dekat logo Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Minggu (1/6/2025). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P
Warga melintas di dekat logo Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Minggu (1/6/2025). JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P

Pergerakan IHSG

Sementara itu, kondisi pasar saham Indonesia kembali terkoreksi menjelang akhir semester I/2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan Senin (23/6/2025) seiring dengan memanasnya konflik di Timur Tengah.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 1,74% ke level 6.787,14. IHSG dibuka di level 6.833,48 pada perdagangan Senin (23/6/2025). IHSG berada di level terendah 6.745,15 dan mencatatkan level tertinggi di level 6.834,77.

IHSG ditutup dengan nilai transaksi yang diperdagangkan mencapai Rp12,72 triliun, volume transaksi 24,77 miliar lembar, dan frekuensi transaksi 1,35 juta kali. Adapun, market cap pasar modal Indonesia mencapai Rp11.877 triliun. 

Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas, David Kurniawan mengatakan pasar saham dipengaruhi oleh sentimen konflik Iran dan Israel yang kian memanas. Konflik tersebut mendorong harga minyak dunia melonjak. Pasar saham Indonesia pun terdampak negatif.

"Geopolitik antara Israel-Iran masih krusial. Jika konflik mereda, minyak turun dan saham konsumen terangkat. Sebaliknya, jika eskalasi meningkat, pasar energi naik dan sektor pertahanan mendapat keuntungan," kata David dalam risetnya pada Senin (23/6/2025).

Analis Phintraco Sekuritas Ratna Lim juga mengatakan ikut sertanya AS dalam konflik Iran dan Israel akan semakin meningkatkan ketegangan geopolitik dan berpotensi mendorong kenaikan harga komoditas, terutama minyak mentah. 

Kemudian, lonjakan harga minyak dapat mendorong kenaikan inflasi global. Kondisi tersebut akan membuat para bank sentral tidak dapat menurunkan suku bunga di tengah ekonomi global yang cenderung membutuhkan stimulus moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Halaman
  1. 1
  2. 2
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Dwi Nicken Tari
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper