Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Garuda (GIAA) Bidik Danantara, Menimbang Opsi Guyuran Modal Rp8,15 Triliun

Sejumlah pihak memberikan pertimbangan soal rencana Danantara menggulirkan dana US$500 juta atau setara Rp8,15 triliun kepada Garuda Indonesia (GIAA).
Dionisio Damara Tonce, Annisa Kurniasari Saumi
Kamis, 5 Juni 2025 | 08:00
Pesawat garuda Indonesia mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone
Pesawat garuda Indonesia mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/6/2024). Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Danantara untuk menggulirkan dana sekitar US$500 juta atau setara dengan Rp8,15 triliun (kurs asumsi Rp16.300 per dolar AS) kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mendapatkan kritikan dari sejumlah pihak.

Bloomberg mengabarkan GIAA sedang dalam pembicaraan dengan sovereign wealth fund Indonesia, Danantara, mengenai suntikan dana sekitar US$500 juta. Suntikan modal tersebut dikabarkan menjadi bagian dari tahap awal pendanaan yang dilakukan dalam dua bagian guna memperbaiki kondisi keuangan perseroan.

Selain itu, sebagian dana tersebut direncanakan bakal dialokasikan ke anak usaha GIAA, yaitu Citilink untuk mengoperasikan kembali lebih dari selusin pesawatnya.

Pemerintah Indonesia juga disebut sedang mempertimbangkan opsi untuk memindahkan kendali atas Citilink ke PT Pertamina. Namun, hingga kini pembicaraan masih berlangsung dan belum menghasilkan keputusan final.

Kesepakatan tersebut dapat tercapai secepatnya pada bulan Juni atau Juli, dan akan menjadi bagian dari tahap awal pendanaan yang mungkin dilakukan dalam dua bagian untuk membantu maskapai memperbaiki kondisi keuangannya, kata sumber-sumber Bloomberg, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena informasi ini bersifat pribadi.

Toto Pranoto, Associate Director BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), menilai dukungan Danantara kepada Garuda tidak seharusnya dilakukan secara tunggal. Perlu ada skema berbagi risiko dengan investor lain guna menyelamatkan GIAA.

Menurutnya, kondisi keuangan Garuda masih mengkhawatirkan di tengah tren pemulihan industri penerbangan. Sejumlah pesawat Garuda yang masih grounded akibat keterbatasan biaya perawatan menjadi indikator bahwa kondisi maskapai pelat merah tersebut belum stabil secara operasional maupun finansial.

“Padahal, saat ini industri penerbangan domestik sedang dalam posisi cukup baik karena terjadi kelebihan permintaan akibat jumlah armada yang masih terbatas,” ujar Toto saat dihubungi, Rabu (4/6/2025).

Dengan tidak dimungkinkannya lagi skema penyertaan modal negara (PMN), Toto menilai peran Danantara menjadi krusial. Namun demikian, dia mengingatkan agar Danantara tidak menanggung seluruh beban risiko sendiri.

Dia juga menekankan bahwa bantuan dari Danantara harus disertai dengan proposal bisnis yang lebih solid dan layak secara komersial dari Garuda Indonesia.

GIAA disebut dapat fokus pada pada penguatan pasar domestik, sementara rute internasional sebaiknya dibatasi pada segmen captive dan menguntungkan seperti penerbangan haji atau destinasi wisata potensial seperti Jepang dan Australia.

“Jadi, studi kelayakan ini penting bagi Danantara untuk mengukur risiko atas injeksi modal tersebut. Supaya bisa berbagi risiko dengan Danantara, sebaiknya investor lain dari GIAA juga diminta menginjeksi modal untuk tujuan itu,” ungkapnya.

Adapun sumber pembiayaan Danantara untuk rencana suntikan modal bisa berasal dividen tahun buku 2024 yang sebagian besar sudah disetorkan oleh BUMN.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana investasi tersebut kurang tepat dilakukan oleh Danantara apabila terjadi. 

“Untuk apa Danantara menyuntik dana ke Garuda? Ini kan rencana investasi yang kurang pas,” kata Bhima, Rabu (4/6/2025). 

Menurut Bhima, Danantara seharusnya mendorong investasi baru yang memiliki keuntungan tinggi. Apabila Danantara menolong BUMN bermasalah, lanjutnya, artinya Danantara membebankan risiko ke BUMN lain yang sehat.

Bhima mengkhawatirkan langkah Danantara tersebut dapat menimbulkan risiko sistemik ke sektor keuangan apabila dilakukan.

“Kalau Danantara jadi tukang cuci piring BUMN bermasalah, artinya Danantara membebankan risiko ke BUMN lain yang sehat. Padahal disitu ada aset dari bank Himbara juga,” tuturnya.

Adapun menurutnya, langkah likuidasi BUMN atau merger dengan BUMN lainnya dapat menjadi alternatif untuk penyehatan BUMN bermasalah. 

PMN Garuda Indonesia

Untuk diketahui, GIAA terakhir kali menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah sebesar Rp7,5 triliun yang resmi dicairkan pada 20 Desember 2022.

Dana itu menjadi bagian dari skema restrukturisasi keuangan Garuda dan digunakan untuk mendukung operasional serta memperkuat struktur permodalan perusahaan.

Dukungan PMN yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 itu digunakan untuk mendukung percepatan pemulihan kinerja perseroan, khususnya pada lini operasional penerbangan, seperti program restorasi armada, pemeliharaan suku cadang pesawat, dan berbagai komponen pesawat lainnya.

Namun, hingga kuartal I/2025, GIAA masih membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$76,48 juta. Kerugian ini turun dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$87,03 juta. 

Penyusutan kerugian GIAA didorong oleh kinerja pendapatan usaha yang naik 1,62% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi US$723,56 juta atau Rp12,01 triliun, dibandingkan dengan US$711,98 juta pada kuartal I/2024.

Sebelum pandemi Covid-19 atau sepanjang 2019, GIAA tercatat meraup laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$6,98 juta, berbalik dari kondisi rugi pada 2018 sebesar US$231,15 juta.

Namun, pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam. Garuda Indonesia pun sempat dibayangi kerugian beruntun tepatnya pada 2020-2021. Pada 2020, perseroan merugi US$2,47 miliar. Kondisi rugi disebabkan kinerja pendapatan tidak mampu mengimbangi beban usaha yang meningkat akibat pandemi Covid-19. GIAA meraup pendapatan US$1,49 miliar pada 2020, dengan beban usaha mencapai US$3,3 miliar.

Pada 2021, kerugian GIAA membengkak menjadi US$4,14 miliar. Saat itu, pendapatan GIAA mencapai US$1,33 miliar dengan beban usaha US$2,6 miliar.

Baru pada 2022, perseroan mencetak laba bersih sebesar US$3,73 miliar. Lompatan ini salah satunya diakibatkan oleh adanya pendapatan dari restrukturisasi utang senilai US$2,85 miliar.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper