Bisnis.com, JAKARTA — Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) Dileep Srivastava berharap pemerintahan baru, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming meninjau ulang tarif royalti batu bara yang saat ini berlaku progresif.
Dileep beralasan pendapatan perusahaan terkoreksi cukup tajam selama beberapa tahun terakhir, setelah aturan ihwal royalti progresif untuk pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hasil perpanjangan kontrak itu diterbitkan pada awal 2022 lalu.
Dileep mengataka, perseroan mencatat royalti batu bara yang dibayar BUMI mencapai 32% atau nyaris sepertiga dari keseluruhan pendapatan tahunan BUMI.
“Kita berharap dalam pemerintahan yang baru, menteri yang baru mereka bersedia meninjaunya kembali untuk diratakan,” kata Dileep dalam webinar Indonesia Investment Education (IIE), Sabtu (24/8/2024).
Apabila tarif progresif itu ditinjau ulang, kata Dileep, pendapatan BUMI bakal tumbuh lebih positif dari penjualan batu bara domestik dan luar negeri. Saat ini, kata dia, sepertiga pendapatan BUMI diserahkan ke negara dalam bentuk pungutan royalti.
“Jadi ini adalah kebutuhan yang mendesak, kalau kita bisa meninjaunya ulang sama rata, kita mungkin bisa mengakselerasi ambisi kita pada bisnis nonbatu bara,” kata dia.
Baca Juga
Adapun, pemerintah mengumumkan kebijakan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) produksi batu bara berjenjang bagi pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian pada Senin (18/4/2022).
Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara, untuk setiap penjualan batu bara dengan harga batu bara acuan (HBA) di bawah US$70 per ton dikenakan tarif 14%, sementara HBA di antara US$70 per ton sampai US$80 per ton dikenakan tarif 17%, selanjutnya HBA di rentang US$80 per ton sampai US$90 per ton dikenakan tarif 23%.
Sementara itu, tarif 25% berlaku untuk penjualan batu bara dengan HBA di angka US$90 per ton sampai US$100 per ton. Adapun, tarif maksimal sebesar 28% dikenakan untuk HBA di atas atau sama dengan US$100 per ton.
Di sisi lain, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUPK bukan dari kelanjutan operasi atau perjanjian, dikenakan royalti dengan tarif sebelumnya antara 3%, 5%, sampai dengan 7% sesuai kalori batu bara.
Sebelumnya, emiten batu bara kongsi Grup Bakrie dan Salim itu mencatatkan kenaikan laba bersih sepanjang semester I/2024 meskipun pendapatan turun signifikan.
Menilik laporan keuangan, laba bersih BUMI tercatat sebesar US$84,91 juta atau sekitar Rp1,38 triliun (kurs jisdor Rp16.294 per dolar AS) pada semester I/2024. Laba itu naik 3,76% secara year-on-year (yoy) dibandingkan semester I/2023 sebesar US$81,82 juta atau sekitar Rp1,33 triliun.
Kendati demikian, pendapatan perseroan justru turun 32,76% yoy menjadi US$595,84 juta, atau sekitar Rp9,70 triliun pada 6 bulan pertama 2024, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar US$886,27 juta atau sekitar Rp14,44 triliun.
Sejalan dengan turunnya pendapatan, beban pokok BUMI ikut terpangkas 30,3% menjadi US$542,1 juta dibandingkan periode sama 2023 sebesar US$777,61 juta.
_________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.