Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mengkaji kemungkinan short selling sebagai cara menaikkan transaksi saham. Berkaca dari bursa di luar, short selling berisiko membuat sebuah saham jatuh dalam sehari.
Short selling adalah strategi investasi menggunakan cara menjual saham yang dipinjam di harga bawah dengan harapan membelinya kembali nanti dengan harga yang lebih rendah, sehingga memperoleh keuntungan dari selisih harga tersebut. Meskipun potensi keuntungan dari short selling cukup substansial, strategi ini juga membawa risiko yang signifikan yang dapat mengakibatkan kerugian besar.
Strategi ini biasanya digunakan oleh pedagang yang yakin bahwa harga saham akan turun. Namun, jika harga saham naik, short seller harus membeli kembali saham tersebut dengan harga yang lebih tinggi, mengakibatkan kerugian.
Sejumlah pasar saham mengalami kejatuhan setelah pemberlakukan kebijakan short selling, seperti Bursa China, Bursa Korea Selatan, dan saham Gamestop di Bursa AS. Korea Selatan dan China juga akan melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kebijakan short selling. Hal tersebut dilakukan untuk menenangkan para investor yang panik akibat saham-saham short selling yang anjlok.
Melansir dari berbagai sumber, Bisnis mencatat beberapa investor kawakan terpantau mampu menjadi konglomerat dalam waktu semalam berkat teknik short selling. Investor yang cermat bisa melihat pergerakan harga pasar dan memperkirakan kapan harga akan turun untuk melakukan short selling.
Saat harga sudah turun, investor kemudian membelinya kembali dan mengembalikannya pada broker. Oleh karena itu teknik short selling sangat berisiko. Misalnya, short selling pada saham GameStop Corp. (NYSE: GME) yang mengguncang pasar awal tahun ini. Fenomena ini terus menghantui hedge fund, terutama mereka yang memperoleh keuntungan dari penjualan saham.
Berikut Ini adalah 7 Risiko yang Dihadapi Investor Short Selling:
1. Potensi Kerugian Tak Terbatas
Salah satu risiko utama dari short selling adalah potensi kerugian yang tidak terbatas. Ketika short seller menjual saham, mereka pada dasarnya bertaruh melawan kesuksesan perusahaan tersebut. Jika harga saham naik, short seller harus membeli kembali saham dengan harga yang lebih tinggi, yang dapat menyebabkan kerugian besar.
Misalnya, jika seorang short seller menjual 100 saham XYZ dengan harga Rp80 per saham dan harga saham naik menjadi Rp120 per saham, mereka harus membayar Rp12.000 untuk membeli kembali saham tersebut, mengakibatkan kerugian sebesar Rp2.000 ($10.000 - $12.000).
2. Perubahan Mendadak dalam Biaya
Risiko lain yang signifikan adalah perubahan mendadak dalam biaya short selling saham karena harus meminjam dari broker. Biaya untuk meminjam saham dapat sering berubah sebagai respons terhadap kondisi pasokan dan permintaan.
Misalnya, seorang short seller bisa memulai dengan suku bunga pinjaman 20%, hanya untuk mendapati bahwa suku bunga tersebut meningkat menjadi 85% keesokan harinya. Hal ini membuat sulit bagi short seller untuk mempertahankan posisi mereka dan dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan.