Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) menyebut generasi Z (Gen Z) memiliki kebiasaan buruk yaitu mudah berutang. Oleh sebab itu, Kemenkeu mendorong Gen Z agar melek untuk berinvestasi, terutama di instrumen Surat Berharga Negara (SBN).
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, komposisi investor terbanyak di SBN ritel didominasi oleh generasi milenial di atas 50%, sedangkan porsi Gen Z masih sedikit hanya 2% hingga 3%.
Sebagai gambaran, generasi milenial lahir pada tahun 1981 hingga 1996, sedangkan generasi Z lahir pada 1997 hingga 2012.
“Justru saya itu melihat, tantangannya ke depan, terutama untuk Gen Z itu terlalu mudah untuk berutang. Sekarang kalau beli di e-commerce, sepertinya langsung ada tawaran untuk paylater gitu, jadi lebih mudah untuk bayar melalui pinjaman dibandingkan dengan cash,” ujar Deni di Jakarta, dikutip Selasa (18/6/2024).
Deni mengatakan, hal ini menjadi salah satu tantangan Kemenkeu untuk mengedukasi masyarakat terkait pentingnya pengelolaan keuangan yang baik, agar jangan sampai terjebak di kehidupan yang sulit karena tidak memiliki aset yang cukup untuk menghadapi masa tua nanti.
“Sehingga, saya sering bilang ke teman-teman Gen Z kalangan anak muda dan mahasiswa, jangan sampai gaya hidup kita hari ini dibiayai dengan pendapatan kita di hari esok. Yang paling keren itu adalah kalau biaya hidup kita di hari esok dibiayai dari pendapatan negara melalui SBN,” jelasnya.
Baca Juga
Meskipun demikian, Deni mengakui sejak pandemi Covid-19, tingkat kesadaran masyarakat dalam berinvestasi meningkat cukup tinggi untuk menghadapi kondisi-kondisi tak terduga. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi investasi di instrumen SBN ritel pun terus bertumbuh setiap tahunnya.
Sebagai pengingat, pada 2022 lalu realisasi penerbitan SBN ritel tembus Rp107 triliun, jumlah itu meningkat sekitar 37,8% secara year-on-year (YoY) menjadi Rp147,42 triliun pada 2023. Sementara itu, pada 2024, Kemenkeu mematok target penerbitan SBN ritel berkisar Rp140 triliun-Rp160 triliun.
Di lain sisi, dia juga mengungkap tantangan lain untuk penerbitan SBN ritel. Misalnya, dari faktor global, Kemenkeu mencermati potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dapat mempengaruhi kemampuan investasi masyarakat.
"Karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia, meskipun ekonomi Indonesia masih diprediksi bisa tumbuh di atas 5%. Tapi ini tentu menjadi sesuatu yang kami cermati, perlambatan ekonomi akan mempengaruhi alokasi investasi masyarakat," pungkasnya.
Sejauh ini, Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) masih menahan suku bunga di kisaran 5,25%-5,5% pada pertemuan FOMC Juni 2024. Sementara itu, suku bunga Bank Indonesia (BI) saat ini di level 6,25% jelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19-20 Juni 2024.
Sebagai tambahan informasi, Kemenkeu tengah menawarkan SBN ritel Savings Bond Ritel seri SBR013. Periode penawaran berlangsung pada 10 Juni hingga 4 Juli 2024. Kuota awal yang ditawarkan sebesar Rp15 triliun, namun diproyeksikan bisa bertambah hingga Rp20 triliun jika minat masyarakat tinggi.
DJPPR Kemenkeu meluncurkan SBR013 dalam dua tenor yakni SBR013-T2 tenor 2 tahun dengan kupon 6,45%, dan SBR013-T4 tenor 4 tahun dengan kupon 6,60% per tahun.