Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas melemah usai Federal Reserve (The Fed) mengumumkan keputusan suku bunga dan data inflasi, sedangkan batu bara dan CPO ditutup menguat.
Berdasarkan data Bloomberg, harga emas di pasar spot melemah 0,19% ke level US$2.320,66 pada perdagangan Kamis (13/6/2024) pada pukul 06.53 WIB.
Kemudian, harga emas Comex kontrak Agustus 2024 juga melemah 0,77% ke level US$2.336,70 per troy ounce, pada pukul 06.42 WIB.
Mengutip Reuters, para pedagang dan ahli industri berpendapat meski target US$3.000 tampak masih sulit dicapai, faktor-faktor pendukung emas tetap kuat.
Investor berbondong-bondong mengarah pada logam mulia, didorong oleh ekspektasi pelonggaran moneter, ketegangan geopolitik di Eropa dan Timur Tengah dan yang terpenting adalah pembelian dari bank sentral yang dipimpin oleh China.
Emas spot diperdagangkan sekitar US$2,300 per ounce setelah mencapai rekor US$2,449.89 pada 20 Mei 2024, dan sepanjang tahun ini telah naik lebih dari 11%.
Baca Juga
“Biasanya China dan Jepang merupakan negara yang memiliki anggaran belanja terbatas, namun mengingat kondisi perekonomian, tantangan real estate dan pasar ekuitas, emas adalah pilihan yang aman. Saya pikir emas akan menjadi daya tarik untuk beberapa waktu,” jelas CEO London Bullion Market Association, Ruth Crowell.
Selain itu, diketahui bahwa The Fed menahan suku bunga acuan di kisaran 5,25%-5,5% serta mengisyaratkan pemangkasan suku bunga hanya 1 kali tahun ini.
"Kami perlu melihat lebih banyak data yang baik untuk meningkatkan keyakinan kami bahwa inflasi bergerak secara berkelanjutan menuju 2%,” jelasnya dalam konferensi pers usai pengumuman suku bunga.
Harga Batu Bara
Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara kontrak Juni 2024 di ICE Newcastle menguat 1,30% ke level US$132,95 per metrik ton pada penutupan perdagangan Rabu (12/6). Kemudian, batu bara kontrak Juli 2024 juga menguat 1,57% ke US$133,45 per metrik ton.
Mengutip Reuters, berdasarkan data lembaga pemikir energi Ember, kelompok negara berkembang utama BRICS yang terdiri Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, mengeluarkan rekor 1,98 miliar metrik ton karbon dioksida dari pembangkit listrik selama kuartal I/2024.
Angka tersebut kira-kira 500 juta ton lebih besar dari gabungan seluruh beban emisi yang dihasilkan negara-negara lain di dunia. Hal ini juga menyoroti perbedaan tren polusi antara negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan sebagian besar negara maju.
Adapun, China dan India menyumbang lebih dari 90% total emisi BRICS pada kuartal I/2024, menunjukkan terkonsentrasinya polusi listrik di blok BRICS akibat tingginya penggunaan batu bara oleh negara-negara Asia.
Menimbang hal ini, terdapat kekhawatiran memburuknya hubungan perdagangan antara BRICS dan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya, dan kemungkinan anggota BRICS memprioritaskan hubungan ekonomi dibandingkan upaya dekarbonisasi.