Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memperingatkan perusahaan-perusahaan pelat merah untuk bergerak cepat meminimalisasi dampak dari gejolak ekonomi dan geopolitik dunia.
Erick meminta BUMN untuk segera meninjau ulang biaya operasional belanja modal, utang jatuh tempo, rencana aksi korporasi, serta melakukan uji stres dalam melihat situasi terkini.
Sementara itu, perusahaan pelat merah perbankan juga diimbau menjaga porsi kredit secara proporsional yang diperkirakan terdampak volatilitas rupiah, suku bunga, dan harga minyak.
“Seluruh BUMN diharapkan dapat waspada dan awas dengan memantau situasi saat ini, mengingat kemungkinan terjadi kenaikan tingkat suku bunga dalam waktu dekat,” ujar Erick dalam keterangan resmi, Kamis (18/4/2024).
Menurutnya, BUMN yang terdampak bahan baku impor dan memiliki utang luar negeri dalam dolar Amerika Serikat (AS), seperti Pertamina, PLN, BUMN farmasi, serta MIND ID, agar mengoptimalkan pembelian dolar AS dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
“Serta melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat,” kata Erick.
Baca Juga
Ketua Umum PSSI ini juga menuturkan bahwa BUMN berorientasi ekspor seperti MIND ID dan perkebunan PTPN diharapkan mampu memanfaatkan tren kenaikan harga untuk memitigasi tergerusnya neraca perdagangan Indonesia.
Selain itu, BUMN yang memiliki utang luar negeri atau berencana menerbitkan instrumen dalam bentuk dolar AS diminta mengkaji opsi hedging untuk meminimalisasi dampak fluktuasi kurs.
Erick menjelaskan gejolak ekonomi saat ini tecermin dari inflasi AS yang mencapai 3,5% pada Maret 2024 atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Hal ini pun membuat langkah The Fed untuk menurunkan suku bunga tidak terjadi dalam waktu dekat.
Kondisi tersebut juga diperparah dengan situasi geopolitik yang semakin bergejolak, seiring dengan meruncingnya konflik Iran-Israel beberapa hari lalu.
Erick menyatakan situasi ini memicu penguatan dolar AS terhadap rupiah. Pada saat bersamaan juga mengerek minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dan Brent masing-masing telah menembus US$85,7 dan US$90,5 per barel.
“Harga minyak ini bahkan diprediksi beberapa ekonom bisa mencapai 100 dolar AS per barel apabila konflik meluas dan melibatkan Amerika Serikat,” pungkasnya.
Menurutnya, dua kondisi tersebut telah melemahkan rupiah menuju level Rp16.000–Rp16.300 per dolar AS dalam beberapa terakhir. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan bisa menembus Rp16.500, apabila tensi geopolitik tidak menurun.
Situasi ekonomi dan geopolitik ini juga memberikan dampak terhadap Indonesia melalui arus keluar dana asing atau foreign outflow, yang memicu pelemahan rupiah dan meningkatkan imbal hasil obligasi. Biaya impor bahan baku dan pangan juga bakal terkerek karena gangguan rantai pasok, sehingga menggerus neraca perdagangan Indonesia.