Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah perusahaan jasa penukaran valuta asing atau money changer masih menerapkan harga di bawah pasar dengan menggunakan acuan harga pekan lalu.
Berdasarkan laporan Google Finance, rupiah saat ini bercokol di level Rp16.003,10. Posisi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai tukar pada hari sebelumnya yang bertengger pada level Rp16.002, Rabu (10/4).
Meski demikian, jika mengacu data Bloomberg pada perdagangan Jumat pekan lalu (5/4), rupiah ditutup menguat 44 poin atau 0,28% ke Rp15.848. Sementara itu indeks dolar terpantau naik 0,11% ke level 104,010.
Kendati demikian, beberapa money changer di Jakarta masih menetapkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah berdasarkan pada perdagangan pekan sebelumnya.
“Kalau yang untuk sekarang itu karena kita masih pakai rate weekend itu belum ada update seperti yang ada di Google Finance,” kata Teller Dolarindo Yogadio Susilo saat ditemui Bisnis di Jakarta, Jumat (12/4/2024).
Yogadio menuturkan pembaruan nilai tukar dolar AS itu bakal dilakukan selepas libur panjang lebaran 16 April 2024 mendatang.
Baca Juga
Menurut dia, nilai tukar yang saat ini tergambar di Google Finance masih berupa indikasi awal sebelum diterjemahkan ke dalam pasar jual beli valuta asing nantinya.
Hanya saja, kata dia, belakangan memang terlihat tren pelemahan rupiah terhadap dolar yang terus berlanjut.
“Memang untuk kurs jualnya itu sudah Rp15.900-an per dolar AS, tapi untuk belinya dia sudah di Rp16.000-an,” kata dia.
Berdasarkan pantauan Bisnis pada Kamis (11/4/2024) pukul 19.40 WIB, Dolarindo Money Changer masih menetapkan kurs beli dolar AS di level Rp15.700 untuk pecahan 100 dolar AS.
Sementara itu, untuk kurs beli untuk pecahan 50 dolar AS, berada di level Rp15.600. Adapun, pada saat yang sama, di gerai Emerald Money Changer, kurs beli dolar AS ditetapkan di level Rp15.600.
Adapun, pada hari ini, pasar global dikejutkan oleh data inflasi bulan Maret di Amerika Serikat. Dilansir dari Reuters Kamis (11/4/2024), consumer price index (CPI) Amerika Serikat (AS) meningkat lebih dari perkiraan konsensus pada Maret 2024.
Kondisi itu akibat masyarakat di Negeri Paman Sam terus membayar lebih untuk biaya bahan bakar dan sewa perumahan.
Sejalan dengan kondisi itu, pasar keuangan mengantisipasi bahwa The Fed akan menunda kebijakan pemangkasan suku bunga hingga September 2024 mendatang.
Chief Market Strategist Carson Group Ryan Detrick mengatakan data inflasi yang kaku membuat investor berpikir untuk melakukan aksi jual.
“Kekecewaan itu menyebabkan penolakan tidak hanya pada potensi waktu penurunan suku bunga pertama tetapi juga berapa banyak penurunan suku bunga yang akan kita dapatkan,” jelasnya dilansir dari Reuters, Kamis (11/4/2024).