Bisnis.com, JAKARTA – Industri properti Indonesia diperkirakan masih dibayangi sejumlah sentimen negatif, salah satunya datang dari kenaikan inflasi Amerika Serikat (AS) yang menekan prospek penurunan suku bunga The Fed.
Pada Rabu (21/3/2024), The Fed kembali mempertahankan suku bunga pada level tertingginya selama 22 tahun yakni 5,25% - 5,5%. Keputusan ini diambil lantaran data konsumen AS baru-baru ini mengindikasikan adanya keberlanjutan tekanan inflasi.
Indeks Harga Konsumen (IHK) AS pada Februari 2024 tercatat naik menjadi 3,2% dari tahun lalu, setelah melambat menjadi 3,1% secara tahunan pada Januari lalu.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Vicky Rosalinda mengatakan inflasi IHK AS memiliki pengaruh negatif terhadap industri properti di Tanah Air. Namun, pengaruh tersebut dinilai tidak terlalu signifikan karena ada beberapa sentimen pendorong di dalam negeri.
Sentimen pendorong itu, antara lain, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan hasil pemilu satu putaran yang dinilai mampu memberikan dampak positif terhadap percepatan pemulihan kondisi pasar properti Indonesia.
“Tetapi, perlu diwaspadai juga prospek industri properti ini bergantung dengan kondisi keseimbangan antara pasokan dan permintaan properti. Begitu pun dengan The Fed yang belum memangkas suku bunganya, sehingga prospek industri properti di Indonesia masih belum dapat dipastikan,” ujar Rosalinda kepada Bisnis, Kamis (21/3/2024).
Baca Juga
Sentimen negatif terkait dengan suku bunga acuan juga tecermin dari kinerja indeks saham properti. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga Rabu (20/3), memperlihatkan indeks properti mengalami koreksi sebesar 5,49% year-to-date (YtD) ke level 674,95.
Menurut Rosalinda, kontraksi indeks properti hanya bersifat sementara. Sebab, suku bunga Bank Indonesia (BI) saat ini masih menunggu kebijakan The Fed untuk menurunkan suku bunga, sehingga membuat pelaku pasar cenderung wait and see.
Terkait dengan saham properti, dia merekomendasikan PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) sebagai top picks karena emiten ini memiliki produk beragam di Indonesia, sehingga memiliki peluang untuk melanjutkan pertumbuhan marketing sales alias prapenjualan.
“Selain itu, CTRA juga terus membukukan rekor marketing sales dan optimistis untuk mempertahankan targetnya,” tutur Rosalinda.
Sebagai informasi, CTRA pada tahun ini menetapkan target marketing sales sebesar Rp11,1 triliun atau lebih tinggi dibandingkan dengan rekor yang dibukukan sepanjang tahun lalu.
Head of Investor Relation Ciputra Development Aditya Ciputra Sastrawinata mengatakan target itu tumbuh 8% jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp10,2 triliun.
“Ciputra akan melanjutkan pencapaian marketing sales tertinggi di 2023 sebesar Rp10,2 triliun dengan membidik target marketing sales 2024 sebesar Rp11,1 triliun,” ujar Aditya.
Dia menyampaikan perseroan berencana mewujudkan pertumbuhan tersebut melalui fokus strategis pada segmen produk dan lokasi yang sejalan dengan kekuatan Ciputra Development.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.