Bisnis.com, JAKARTA - Harga komoditas batu bara telah melemah di tengah rencana India untuk mengoperasikan pembangkit listrik batu bara tahun ini. Harga CPO juga melemah dikarenakan ekspor yang melesu, serta dipengaruhi oleh harga minyak mentah dan harga minyak kedelai.
Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara berjangka kontrak Februari 2024 di ICE Newcastle telah melemah 0,43% atau 0,50 poin ke level 116 per metrik ton pada perdagangan Kamis (2/122024).
Kemudian, kontrak pengiriman Maret 2024 juga melemah 0,93% atau 1,10 poin ke level 117 per metrik ton.
Mengutip Reuters, kementerian listrik India akan mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun ini, dengan kapasitas gabungan sebesar 13,9 gigawatt (GW) yakni peningkatan tahunan tertinggi setidaknya dalam enam tahun terakhir.
India juga memiliki kekhawatiran dalam keamanan energi, di tengah melonjaknya permintaan listrik dan rendahnya emisi per kapita untuk untuk mempertahankan ketergantungan India yang tinggi pada batu bara. Pada 2023, pembangkit listrik telah meningkat sebesar 11,3%, yakni laju tercepat dalam setidaknya lima tahun terakhir.
Kementerian Tenaga Listrik juga mempertimbangkan untuk menambah setidaknya 53,6 GW kapasitas listrik tenaga batu bara selama delapan tahun, yang berakhir pada Maret 2032, sebagai tambahan dari 26,4 GW yang kini sedang dibangun. Saat ini, batu bara telah menyumbang lebih dari 50% kapasitas terpasang India sebesar 428.3 GW.
Baca Juga
Kemudian, Kpler melaporkan bahwa eksportir batu bara termal Amerika Serikat menghasilkan lebih dari US$5 miliar pada 2023 dan telah mengapalkan lebih dari 32,5 juta metrik ton.
Menurut Ember, pendapatan ekspor batu bara termal tersebut merupakan yang tertinggi kedua sejak 2017, dengan total volume tertinggi sejak 2018.
Harga CPO
Harga CPO atau minyak kelapa sawit di bursa derivatif Malaysia pada Maret 2024 melemah 43 poin menjadi 3.812 ringgit per metrik ton. Kemudian, kontrak April 2024 juga melemah sebesar 47 poin menjadi 3.795 per metrik ton.
Mengutip Bernama, kontrak berjangka minyak sawit ditutup lebih rendah selama tiga hari berturut-turut.
Direktur Pelaksana Palm Oil Analytics (Fastmarkets) Sathia Varqa mengatakan buruknya ekspor pada bulan Januari 2024, perdagangan berjangka minyak terkait yang lebih rendah, harga minyak kedelai yang lebih rendah dan posisi yang berubah-ubah menjelang hari libur nasional di besok hari membuat pasar berada di bawah tekanan.
"Selain itu, ekspor Malaysia pada bulan Januari turun antara 7 persen dan 10 persen dibandingkan bulan Desember, menurut surveyor kargo, memperpanjang penurunan selama tiga bulan berturut-turut," jelas Varqa.
Kemudian, pedagang minyak sawit David Ng mengatakan kontrak berjangka berakhir lebih rendah karena melemahnya ekspor. Rendahnya harga minyak kedelai juga dipandang membebani harga CPO di pasar.
"Kami melihat dukungan di RM3.750 per ton dan resistensi di RM3.900 per ton," tuturnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga menetapkan harga referensi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) periode 1-29 Februari 2024 sebesar US$806,40 per ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Budi Santoso kemudian mengatakan bahwa peningkatan harga referensi CPO untuk Februari 2024 dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Salah satunya adalah permintaan minyak sawit dunia yang tidak diimbangi peningkatan produksi dari Indonesia dan Malaysia. "Adanya peningkatan harga minyak mentah dunia juga berpengaruh," jelasnya.