Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah berpotensi menguat terhadap dolar AS kembali setelah The Fed hentikan tren siklus suku bunga pada perdagangan hari ini, Jumat (15/12/2023).
Penguatan rupiah terjadi saat Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) memberi isyarat pemangkasan suku bunga setidaknya tiga kali tahun depan ke posisi 4,6%.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup menguat 1,01% ke posisi Rp15.502 per dolar AS. Sementara itu indeks dolar terpantau turun 0,26% ke posisi 102,200.
Seluruh mata uang Asia lainnya bergerak menguat di hadapan dolar AS. Yen Jepang naik 0,88%, dolar Hong Kong naik 0,02%, dolar Singapura menguat 0,28%, won Korea naik 1,88%, dan peso Filipina naik 0,47%.
Kemudian rupee India naik 0,08%, yuan China menguat 0,51%, ringgit Malaysia menguat 0,79% dan bath Thailand naik 0,69%.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp15.470- Rp15.710 per dolar AS.
Baca Juga
Dia menjelaskan The Fed mengatakan bahwa suku bunga kini telah mencapai puncaknya pada 5,4%, dan bank sentral akan menurunkan suku bunga setidaknya tiga kali pada tahun 2024 menjadi 4,6%.
Ketua Fed Jerome Powell mengatakan meskipun terlalu dini untuk menyatakan kemenangan atas inflasi, ia masih memproyeksikan prospek inflasi yang lebih rendah pada tahun 2023. Sinyal dovish The Fed memicu meningkatnya spekulasi mengenai kapan bank tersebut akan mulai menurunkan suku bunganya.
Di pasar berjangka, para pedagang memperkirakan kemungkinan lebih dari 70% The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret 2024. Investor juga mempertimbangkan peluang 67% untuk penurunan 25 basis poin lagi pada Mei 2024.
“Namun ketidakpastian mengenai penurunan suku bunga kemungkinan akan mengurangi optimisme dalam beberapa bulan mendatang, terutama karena kekuatan ekonomi AS masih dapat memicu peningkatan inflasi. Data terkini menunjukkan inflasi indeks harga konsumen tetap stabil di bulan November, sementara pasar tenaga kerja juga tetap kuat,” katanya dalam riset harian.
Di Asia, pasar sekarang menunggu isyarat ekonomi lebih lanjut mengenai Tiongkok dari data produksi industri dan penjualan ritel yang dirilis pada hari Jumat, setelah serangkaian pembacaan yang mengecewakan di bulan November.
Setelah data inflasi yang lemah awal pekan ini, pembacaan pada hari Rabu menunjukkan kelemahan yang terus-menerus dalam aktivitas pinjaman dan tingkat likuiditas lokal. Data tersebut mendorong lebih banyak seruan untuk langkah-langkah stimulus dari Beijing, meskipun pemerintah tetap konservatif dalam memberikan lebih banyak dukungan fiskal.
Sementara itu, kata Ibrahim, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada Asian Development Outlook (ADO) Desember 2023 untuk negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik menjadi 4,9 persen untuk tahun ini dari perkiraan 4,7 persen pada September 2023.
Adapun ADB memperkirakan ekonomi China tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun ini, meningkat dari prediksi sebelumnya yang sebesar 4,9 persen, setelah konsumsi rumah tangga dan investasi publik mendorong pertumbuhan pada kuartal ketiga.
Sementara untuk Indonesia, ADB mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini sebesar 5 persen, dengan perkiraan inflasi yang juga dipertahankan sebesar 3,6%. Dari sisi inflasi, prospek inflasi negara-negara berkembang di Asia-Pasifik untuk tahun ini telah diturunkan menjadi 3,5% dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,6 persen. Untuk tahun depan, inflasi diperkirakan meningkat menjadi 3,6 persen dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 3,5%.