Bisnis.com, JAKARTA – Harga Bitcoin yang menembus hingga US$44.000 membuka peluang baik bagi investor jangka panjang maupun pemula untuk mengoleksi kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar itu.
Berdasarkan data coinmarketcap, Sabtu (9/12/2023) pada 08.35 WIB, harga Bitcoin mencapai US$44.095,58 atau menguat 1,57% dalam waktu 24 jam, dan melesat 13,71% selama 7 hari terakhir.
Crypto Analyst Reku Fahmi Almuttaqin memaparkan berdasarkan indeks fear & greed yang dilansir alternative.me, menunjukkan angka 75 yang berarti bahwa pasar berada di fase optimis atau greed. Angka ini, sebutnya, meskipun merupakan yang tertinggi sejak November 2021 namun masih belum tergolong signifikan atau berada pada area extreme greed.
Pada 6 November 2023, kata Fahmi, indeks bahkan juga berada di angka 74, ketika harga Bitcoin waktu itu sekitar US$ 35.000. Artinya, ruang pertumbuhan masih sangat terbuka. Tak hanya itu, tersentuhnya area extreme greed biasanya menjadi sinyal waspada bahwa investor cenderung terlalu optimistis, namun hal itu saat ini belum terjadi.
Ketika respon investor cenderung stabil, ini membuka peluang bagi Bitcoin untuk melanjutkan tren bullish.
“Oleh karena itu, situasi ini menggambarkan potensi bagi investor eksisting untuk kemungkinan reli yang lebih besar lagi. Sementara bagi investor yang baru ingin berinvestasi, saat ini masih tergolong cukup early untuk masuk ke pasar Bitcoin,” terangnya melalui keterangan resmi, dikutip Sabtu (9/12/2023).
Baca Juga
Sebab, lanjutnya, biasanya indikator fear & greed akan menunjukkan sinyal extreme greed ketika banyak investor baru yang berbondong-bondong membeli Bitcoin.
Adapun pasar kripto kembali menghijau dengan naiknya harga BItcoin yang menembus hingga US$ 42.400 atau sekitar Rp657 juta. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak April 2022.
Fahmi mengatakan kenaikan ini didorong oleh sejumlah katalis, selain dari optimisme terhadap persetujuan otoritas bursa AS SEC untuk permohonan Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin yang diagendakan pada Januari 2024 mendatang.
Selain optimisme terhadap ETF Bitcoin, faktor lain di balik kenaikan harga Bitcoin adalah rendahnya tekanan jual dari investor yang diukur berdasarkan data exchange netflow Bitcoin. Semakin rendah exchange netflow berarti semakin rendah pula kemungkinan investor untuk menjual aset.
"Melansir IntoTheBlock, exchange netflow Bitcoin pada 2 Desember lalu negatif -3,32 ribu Bitcoin, kemudian masih negatif pada 3 Desember yakni -1,11 ribu Bitcoin,” kata Fahmi.
Artinya, Fahmi melanjutkan, lebih banyak Bitcoin yang investor pindahkan dari exchange ke dompet pribadi, daripada yang dipindahkan dari dompet pribadi ke exchange. Hal ini menandakan investor lebih memilih untuk menyimpan Bitcoin yang dimiliki daripada menjualnya, meskipun harga sudah naik ke area US$39.500 pada waktu itu.
Selain itu, sentimen pendorong lainnya yakni peran investor institusional yang terus mengakuisisi Bitcoin terlepas dari kenaikan harga yang terjadi. Microstrategy sebagai salah satu perusahaan terkemuka di dunia analytics, kembali membeli Bitcoin sekitar 16.130 koin atau setara US$ 593,3 juta secara tunai, selama periode 1 November dan 29 November tahun ini.
Pembelian tersebut merupakan yang terbesar setelah pembelian yang dilakukan pada Februari 2021 lalu dan membuat Microstrategy dan anak perusahaannya saat ini memiliki total 174.530 Bitcoin. Padahal,harga Bitcoin Pada November sudah naik dan berada pada area di atas US$34.000 dibandingkan pada Oktober yang masih di kisaran US$26.000.