Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dinilai mampu melewati situasi dari gejolak ekonomi global saat ini, mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi yang lebih sulit. Hal ini berdampak terhadap kepercayaan investor di pasar saham dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditargetkan menuju 7.400 pada akhir 2023.
Peneliti dari Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai saat ini Indonesia perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik.
“Saya melihat, Indonesia cenderung siap menghadapi gejolak ekonomi global saat ini. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi yang lebih buruk dari itu. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu,” ujarnya, Jumat (14/9/2023).
Menurutnya, sebenarnya Indonesia sudah banyak memulai wacana-wacana yang berkembang terkait bagaimana meningkatkan diversifikasi produksi yang tidak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa juga pergeseran ke energi terbarukan.
Abdul juga menekankan bahwa mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar ke depan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tersebut tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit di bawah 3 persen.
Ekonomi global saat ini sedang mengalami ketidakpastian akibat pengaruh kebijakan suku bunga The Fed, harga minyak dunia yang naik, serta efek perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina. Ini karena harga minyak sedang naik. Sementara The Fed diproyeksikan akan tetap mempertahankan suku bunga pada kisaran 5,25 persen -5,50 persen. Terlebih imbas perang Rusia-Ukraina masih memaksa suplai komoditi menjadi lebih terbatas.
Baca Juga
Meski begitu, Abdul menambahkan, kenaikan harga minyak tersebut bukanlah faktor satu-satunya yang mendorong terjadinya gejolak ekonomi global, namun terdapat faktor lain yang menyertainya, yakni perang Rusia-Ukraina.
“Saya melihat kenaikan harga minyak ini sebetulnya temporer saja, tidak akan signifikan seperti tahun 2022,” ujarnya.
Sementara terkait kebijakan suku bunga The Fed, Abdul mengungkapkan bahwa bank sentral AS itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mengubah situasi ekonomi global. Ketika The Fed mengubah suku bunganya tentu akan diikuti oleh negara lain. The Fed adalah leader di pasar keuangan global. Jadi, apa yang dilakukan The Fed umumnya akan diikuti oleh bank sentral lainnya, karena The Fed menjadi benchmark bagi negara-negara lain untuk suku bunganya.
Sementara itu, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San, menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih dapat dikategorikan tergolong cukup stabil dalam merespons gejolak ekonomi dunia yang terjadi belakangan ini.
“Saya melihat valuasi IHSG kita cenderung atraktif. Kami telah mengumpulkan data di berbagai tahun. Berdasarkan data dari 2013 sampai 2022, pada bulan September itu, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun.
Artinya pada September, IHSG memiliki kecenderungannya mengalami koreksi. Sementara pada bulan Oktober, IHSG secara historis selama 8 tahun melenggang di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah. Jadi probabilitas IHSG pada Oktober mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham menjelang sisa semester II/2023.
Oleh karena itu, menurutnya, terdapat peluang yang baik di sisi ekonomi Indonesia. Namun, para investor tentu harus memahami profil risiko masing-masing sebelum mengambil keputusan melakukan investasi. Contohnya dengan melakukan strategi pendekatan profil risiko agar dapat melakukan investasi secara kondusif dan aman.
“Saya melihat untuk 12 bulan ke depan tentunya sentimen pasar akan lebih kondusif dan konstruktif. Sisi kondusif di sini terlihat karena adanya faktor risiko perubahan moneter dan fiskal yang akan lebih minim,” terangnya.
Prospek cerah IHSG tercermin dari pertumbuhan positif laba perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Hal tersebut juga yang membuat IHSG masih berpotensi mencapai level 7.400, dengan pertimbangan EPS growth di angka 9 persen–10 persen.
Di pasar surat utang, lanjutnya, obligasi dengan durasi tenor menengah bisa menjadi pilihan yang tepat bagi para investor, karena hal itu merupakan salah satu pilihan yang menarik pada 2024.
“Jika melihat data-data yang ada, tentu saya sangat optimis dengan saat ini, khususnya dengan obligasi-obligasi yang tenornya menengah sehingga dapat menjadi satu pilihan menarik bagi para investor,” ujarnya.
Sementara untuk investor yang cenderung konservatif, bisa melihat peluang pada Sukuk Ritel 019 (SR019) yang telah diterbitkan Kementerian Keuangan yang dapat membantu progres kegiatan investasi dan mendorong pemerintah melakukan perkembangan ekonomi nasional.