Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan harga minyak dunia berisiko menekan emiten dengan lini bisnis petrokimia, penyedia jasa kontraktor tambang, serta yang bergantung pada bahan baku impor seperti sektor konsumer.
Equity Analyst Research Panin Sekuritas Felix Darmawan menjelaskan ada dua jenis dampak negatif yang dirasakan emiten-emiten tertentu dari kenaikan harga minyak dunia, dampak langsung dan dampak tidak langsung.
“Jika melihat dari harga energi [minyak mentah] yang naik, maka yang akan terimbas adalah emiten petrokimia, salah satunya PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. [TPIA] yang lumayan terkena dampak seperti tahun lalu,” kata Felix kepada Bisnis, Kamis (7/9/2023).
Felix menambahkan kenaikan harga minyak akan berdampak pada bahan baku yang ikut melejit. Dia mencontohkan dampak negatif yang pernah terjadi pada 2022 saat minyak mentah menembus angka US$100 per barel. Salah satu emiten petrokimia yang terdampak adalah PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA).
Jika melihat laporan keuangan TPIA pada semester I/2022, terdapat lonjakan beban pokok pendapatan segmen bahan baku yang digunakan yaitu sebesar US$1,17 miliar atau setara Rp17,56 triliun (kurs jisdor Rp15.000). Sementara itu jika dibandingkan dengan semester I/2023 beban bahan baku yang digunakan sebesar US$835,17 juta atau sekitar Rp12,52 triliun.
Alhasil pada semester I/2022 jumlah biaya produksi TPIA melambung hingga US$1,28 miliar dibandingkan dengan semester I/2023 yang tercatat hanya US$944,90 juta.
Baca Juga
Hal senada dirasakan PT Barito Pacific Tbk. (BRPT). Beban langsung pemakaian bahan baku untuk segmen petrokimia pada semester I/2022 tercatat sebesar US$1,17 miliar, sementara untuk paruh pertama 2023 hanya sekitar US$835,17 juta. Angka ini berdampak pada jumlah biaya produksi yang ikut meningkat pada 2022.
Penguatan harga minyak mentah juga akan berdampak tidak langsung pada beberapa emiten. Hal tersebut terjadi karena harga minyak mentah yang melambung akan membuat skenario The Fed menaikkan suku bunga akan semakin nyata.
Sikap hawkish The Fed menjadikan nilai dolar AS menguat relatif terhadap rupiah. Emiten yang terdampak adalah emiten yang memiliki eksporsur impor seperti sektor konsumer maupun emiten dengan utang dalam dolar AS yang besar.
Felix menerangkan skenario itu akan terjadi jika The Fed benar-benar akan menaikkan suku bunga. Harga minyak relatif dikendalikan oleh OPEC+ yang menginginkan harganya relatif tinggi, sedangkan untuk negara konsumen terutama AS ingin harganya terjangkau karena menargetkan inflasi terkendali.
Saat ini tren inflasi di negara-negara maju konsumen energi yang besar seperti Amerika Serikat dan Negara Eropa Barat relatif sudah turun dibandingkan puncak pada perang Rusia Ukraina tahun lalu.
“Namun untuk di US relatif belum kena targetnya di 2 persen sehingga ada potensi The Fed kembali hawkish,” kata Felix.
Selain memantik sikap Hawkish The Fed, tingginya harga minyak dunia juga akan berpengaruh terhadap harga BBM non subsidi yang mayoritas digunakan untuk bahan bakar kendaraan tambang, yang tentunya juga berdampak pada emiten jasa kontraktor tambang.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 14.30 WIB, harga minyak mentah kompak melemah. WTI Crude Oil melemah 0,43 persen ke posisi US$87,16 per barel, sementara itu Brent Crude turun 0,36 persen ke posisi US$90,27 per barel.