Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah telah melemah sepanjang Agustus di hadapan dolar AS. Beberapa emiten disebut mendapatkan keuntungan dari melemahnya mata uang garuda.
Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih menyebutkan pelemahan rupiah memberikan dampak positif bagi beberapa emiten meski ada yang terdampak negatif juga. Emiten yang diuntungkan adalah yang berbasis ekspor dan mata uang fungsional dalam penyajian laporan keuangan dalam dolar AS.
“Contohnya emiten di sektor komoditas dengan pangsa ekspor lebih besar, serta emiten di sektor logistik dan shipping. Melemahnya nilai tukar rupiah membuat hasil ekspor Indonesia lebih menarik dalam perdagangan internasional,” katanya dalam riset mingguan, dikutip Minggu (27/8/2023).
Selain emiten yang mendulang keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah, beberapa emiten justru terdampak negatif. Ratih menjelaskan emiten yang bergantung pada impor, emiten yang memiliki global bond serta emiten dengan tingkat leverage yang tinggi.
Sektor yang masih bergantung pada impor, di antaranya konsumer, farmasi, dan sektor ritel (komponen otomotif dan elektronik). Kenaikan nilai tukar berdampak pada kenaikan beban produksi, sehingga menekan margin.
Emiten yang memiliki global bond juga perlu diperhatikan karena pembayaran kupon/bunga sebagian besar berlandaskan pada dolar AS, di mana selisih kurs tersebut dapat menyusutkan profitabilitas emiten.
Baca Juga
“Adapun emiten dengan leverage yang tinggi dan sensitif terhadap suku bunga, seperti di sektor konstruksi dan properti juga terkena katalis negatif,” jelas Ratih.
Nilai tukar rupiah yang mengacu pada kurs Jisdor Bank Indonesia (BI) per penutupan Jumat (25/8/2023) berada di level Rp15.297 per dolar AS atau terdepresiasi 1,19 persen sejak awal Agustus 2023. Jika dibandingkan dengan penguatan tertinggi pada Mei 2023 sebesar Rp14.632 per dolar AS, maka mata uang rupiah telah terdepresiasi 4,54 persen.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mata uang rupiah kembali melemah. Secara domestik, walaupun neraca dagang Indonesia masih mengalami surplus selama 39 beruntun hingga periode Juli 2023, namun surplus telah menyusut jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Turunnya surplus neraca dagang tersebut disebabkan PMI manufaktur negara maju yang masih di level kontraksi, lesunya ekonomi China sebagai mitra dagang terbesar non migas Indonesia dan normalisasi harga jual komoditas non migas, seperti batu bara, nikel, CPO, besi dan baja.
Adapun neraca pembayaran pada kuartal II/2023 mengalami defisit US$7,4 miliar, setelah 2 kuartal sebelumnya masih tercatat surplus. Kondisi ini berpotensi menurunkan cadangan devisa sebagai penopang stabilitas nilai tukar rupiah.
Sementara itu, kondisi eksternal juga memicu melemah nilai tukar rupiah, seperti beberapa Bank Sentral di Kawasan Eropa, Inggris dan Amerika Serikat (AS) diproyeksikan masih menetapkan suku bunga tinggi hingga akhir tahun 2023.
Kondisi terbaru, pelaku pasar mencermati pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell dalam forum Jackson Hole Symposium pada 26 Agustus masih berada hawkish dengan sinyal kenaikan suku bunga pada FOMC September mendatang. Nada tersebut jadi sentimen negatif untuk rupiah karena spread suku bunga BI dan The Fed berpotensi 0 persen.