Bisnis.com, JAKARTA — Emiten BUMN farmasi, PT Indofarma Tbk. (INAF) mencatatkan kerugian yang lebih besar seiring dengan penurunan pendapatan pada semester I/2023.
INAF mencatatkan penjualan bersih Rp363,96 miliar pada semester I/2023, turun 36,59 persen dari Rp574,05 miliar pada semester I/2022. Penurunan penjualan terjadi di sejumlah segmen bisnis.
Di produk ethical atau obat resep, penjualan Indofarma turun menjadi Rp208,84 miliar per Juni 2023 dari sebelumnya Rp265,54 miliar. Penjualan alat kesehatan juga turun menjadi Rp16,94 miliar dari Rp149,79 miliar per Juni 2022.
Penjualan produk FMCG sebesar Rp84,76 miliar pada semester I/2023, turun dari Rp144,76 miliar per Juni 2022. Namun, penjualan vaksin naik menjadi Rp32,92 miliar dari sebelumnya Rp251,88 juta.
Sementara itu, beban pokok penjualan INAF tercatat Rp350,36 miliar per Juni 2023, turun dari sebelumnya Rp502,55 miliar. Laba bruto Indofarma pun anjlok menjadi Rp13,60 miliar dari Rp71,50 miliar per Juni 2022.
Dikurangi sejumlah beban, Indofarma membukukan rugi yang diatribusikan ke pemilik entitas induk Rp120,34 miliar pada semester I/2023. Rugi INAF membengkak dari sebelumnya Rp90,71 miliar.
Baca Juga
Total aset INAF mencapai Rp1,55 triliun per Juni 2023, naik dari Rp1,53 trilin pada akhir 2022. Ekuitas minus Rp33,99 miliar, sedangkan liabilitas Rp1,59 triliun.
Target Indofarma 2023
menargetkan pendapatan sebesar Rp1,86 triliun dan laba Rp5,1 miliar untuk 2023. Hal ini berarti Indofarma memasang pendapatan tumbuh 63,36 persen dan membalikkan rugi Rp428,46 miliar menjadi laba.
Direktur Utama Indofarma Agus Heru Darjono mengatakan demi mencapai target tersebut emiten plat merah tersebut akan melakukan perubahan strategi dari a Business-to-Consumer (B2C) menjadi Business-to-Business (B2B). Strategi ini akan diterapkan dengan pola kerjasama dalam proses produksi maupun pemasaran.
“Kita akan lakukan kita lebih ke B2B yang dimana kita bisa meng-attract perusahaan-perusahaan yang lain yang tidak punya fasilitas manufacturing yang cukup,” ujar Agus dalam paparan publik, Rabu (31/5/2023).
Dia menjelaskan dalam strategi ini perusahaan lain dapat menggunakan fasilitas manufaktur dari Indofarma. Hal ini lantaran Indofarma memiliki kapabilitas pabrik yang besar.
Kapabilitas pabrik tersebut tercermin dari utilisasi pabrik yang saat ini hanya mencapai 24 persen sampai 25 persen. Adanya B2B tersebut diharapkan dapat meningkatkan utilisasi hingga 60 persen sampai akhir 2023.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Indofarma Kamelia Faisal mengatakan salah satu contoh dari prinsip B2B tersebut adalah dengan pengembangan produk natural ekstrak. Nantinya produk ini dapat disalurkan kepada perusahaan yang sudah memiliki banyak channel.
“Mereka dapat memesan kepada kami untuk membuat ekstra atau produk jadi yang akan dikembangkan ke produk tertentu,” tuturnya.
Kemudian Indofarma juga memiliki strategi untuk menggunakan produk yang sudah ada hak paten menjadi brand untuk dikembangkan bersama UMKM. Strategi ini juga telah menggandeng Smesco yang berada di bawah naungan Kementerian Koperasi dan UKM.
Indofarma juga berupaya untuk melakukan pembagian pengetahuan dengan bekerja sama pada beberapa perusahaan untuk membuat alat kesehatan lokal sampai rentang 2024-2025. Nantinya perusahaan yang bekerjasama akan diserap dari sisi penjualan.
Dalam laporan keuangan per 31 Desember 2022, Indofarma mencatat penurunan penjualan sebesar 60 persen menjadi Rp1,14 triliun dari sebelumnya Rp2,90 triliun. Sementara beban pokok penjualan ikut turun dari Rp2,45 triliun menjadi Rp1,25 triliun pada tahun lalu.
Setelah ditambah dengan beban penjualan, beban umum dan administrasi, serta kerugian lain-lain maka rugi usaha INAF pada 2022 tercatat Rp479,54 miliar, setelah pada tahun sebelumnya mencetak laba usaha Rp51,98 miliar.
Rugi tahun berjalan 2022 naik menjadi Rp428,49 miliar dari periode sebelumnya Rp37,47 miliar.
Adapun nilai rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk adalah Rp428,46 miliar, naik dari kerugian periode 2021 yang mencapai Rp23,81 miliar.