Bisnis.com, JAKARTA - PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) mengungkap prospek pasar Surat Berharga Negara (SBN) masih positif pada semester II/2023 didorong terjaganya kondisi makro domestik, dan adanya ekspektasi puncak siklus kenaikan suku bunga global dan dalam negeri.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan atau BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75 persen. BI rate saat ini bergeming selama 7 bulan berturut-turut sejak Januari 2023
Dari sentimen global, Federal Reserve atau The Fed menaikkan target suku bunga acuan sebesar 25 bps ke kisaran 5,25 persen—5,5 persen dari hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 25-26 Juli 2023.
Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar PHEI Roby Rushandie mengatakan kenaikan suku bunga The Fed sesuai dengan ekspektasi pasar, sehingga pengaruhnya terhadap pasar SBN tidak terlalu signifikan. Selain itu, dia mengatakan investor asing berpotensi masih akan melirik pasar SBN.
"Asing berpeluang melanjutkan net buy di pasar SBN. Secara year-to-date sepanjang Januari-Juni 2023, non residen mencatatkan net buy Rp84,70 triliun," ujar Roby di Gedung Bursa Efek Indonesia pada Kamis, (27/7/2023).
Menurutnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia memiliki tren yield obligasi yang menurun, sedangkan Malaysia, Thailand, Filipina mengalami tren yield yang naik.
Baca Juga
Adapun, yield SBN 10 tahun Indonesia saat ini berada di rentang 6,25-6,35 persen. Sedangkan US Treasury Yield 10 tahun berada di kisaran 3,87 persen.
"Secara risiko kurs dan inflasi Indonesia masih dibilang cukup atraktif bagi investor asing. Jadi asing masih ada kepercayaan," katanya.
Sejalan dengan proyeksi tersebut, PHEI melaporkan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) naik sebesar 6,48 persen secara year-to-date(ytd) ke level 367,11.
Kenaikan ICBI didorong oleh indeks return obligasi pemerintah yang naik 6,61 persen ytd, dan indeks return obligasi korporasi naik 4,64 persen ytd.
Roby mengatakan, meskipun valuasi pasar obligasi Indonesia pada semester II/2023 berpotensi melanjutkan pemulihan, pasar masih akan dibayangi oleh risiko volatilitas.
"Volatilitas diperkirakan masih membayangi pasar yang didorong oleh potensi persistennya inflasi negara-negara maju, arah kebijakan The Fed, serta wait and see geopolitik dan Pemilu 2024," pungkasnya.