Bisnis.com, JAKARTA – Bagi investor saham, fenomena sell in May and go away pasti sudah tidak asing lagi. Fenomena ini menggambarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berada di zona merah akibat dari investor yang menjual sahamnya.
Pada perdagangan sesi II hari ini (11/5/2023) pukul 14.00 WIB berada di level 6.740,78 atau turun 1,3 persen. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, IHSG periode 2-11 Mei 2023 bergerak di rentang 6.863 hingga 6.811, tertahan di zona merah.
Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati mengatakan mitos sell in May and go away yang beredar di investor tidak seluruhnya benar. Ike mengatakan pada 2020 IHSG justru mengalami tren kenaikan yang positif.
“Ada beberapa fakta, salah satunya tidak semua saham mencatatkan penurunan, karena jumlah kenaikan saham masih lebih banyak dibandingkan jumlah saham yang mengalami penurunan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/5/2023).
Ike bilang, penurunan harga saham di periode Mei, lebih dikarenakan adanya aksi profit taking ataupun adanya jadwal exdate dividen yang menyebabkan investor menjual saham. Penurunan harga saham di Mei juga bersifat jangka pendek dan cenderung akan rebound di periode Juni atau Juli.
“Investor yang dapat memanfaatkan penurunan harga saham di Mei, memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh keuntungan di periode Juni dan Juli. Hal ini dikarenakan investor memiliki saham dengan harga terdiskon,” katanya.
Baca Juga
Sementara itu, sentimen IHSG saat ini masih sekitar keputusan The Fed, rilis data ekonomi global dan domestik serta potensi gagal bayar AS.
Financial Expert Ajaib Sekuritas Chisty Maryani mengatakan dalam riset mingguan bahwa tekanan yang terjadi pada IHSG di antaranya adalah berasal dari katalis global yaitu hasil FOMC The Fed, kekhawatiran di Amerika Serikat juga perihal adanya potensi kegagalan membayar utang yang tercatat sudah melambung hingga US$3,46 triliun pada Juni 2023 serta rilis data ekonomi terutama dari Amerika Serikat.
“Kekhawatiran lainnya pada pasar global juga berasal dari rilisnya GDP (Gross Domestic Product) Amerika Serikat pada kuartal/I2023 yang berada pada level 1,1 persen QoQ, lebih rendah dari pencapaian kuartal sebelumnya yang tercatat di level 2,6 persen QoQ,” jelasnya.
Jika melihat tahun-tahun sebelumnya, memang IHSG pada Mei tidak selalu ditutup negatif. Berdasarkan data BEI, IHSG pada mei 2020 ditutup menguat 0,79 persen MoM dan berada di level 4.753 meski demikian secara year to date IHSG masih dalam tren penurunan sebesar 24,54 persen.
Gerak IHSG pada mei 2020 dipengaruhi oleh faktor ketegangan antara China dan Amerika Serikat, di mana China saat itu merancang UU yang mengatur keamanan nasional yang berimbas pada peningkatan kontrol atas Hong Kong. Apalagi Maret 2020 merupakan tahun pertama pandemi di Indonesia sementara di Amerika Serikat justru telah merencanakan pelonggaran lockdown.
Di 2021, IHSG Mei tampak mengalami penurunan MoM sekitar 0,80 persen dan parkir di level 5.947. secara YtD, IHSG turun 0,53 persen. Saat itu, gerak IHSG dipengaruhi oleh adanya lonjakan kasus Covid-19 pada Februari 2021 dan diperparah dengan aktivitas saat Idulfitri.
Hal serupa terjadi di Mei 2022, IHSG saat itu anjlok 1,11 persen MoM dan parkir di level 7.148. Namun secara YtD, IHSG justru menguat 8,62 persen. Sentimen pada Mei 2022 yaitu sentimen global peningkatan infalsi AS yang mengakibatkan The Fed menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin.