Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Menguat Tinggalkan Rp15.000, Akankah Bertahan Lama?

Rupiah menguat menjauhi Rp15.000 per dolar AS. Selama The Fed masih menaikkan suku bunga diperkirakan rupiah masih mungkin kembali ke kisaran Rp15.000
Uang dolar dan rupiah di Dolarindo Money Changer, Jakarta, Selasa (26/4/2022) Bisnis/Himawan L Nugraha
Uang dolar dan rupiah di Dolarindo Money Changer, Jakarta, Selasa (26/4/2022) Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah terus menguat selama beberapa pekan terakhir. Namun, penguatannya diperkirakan tak bertahan lama jika The Fed masih menaikkan suku bunga tahun ini.

Pada akhir perdagangan Selasa (4/4/2023) rupiah ditutup menguat ke posisi Rp14.898 per dolar AS di tengah pelemahan indeks dolar AS. Rupiah ditutup menguat 72,5 poin atau 0,48 persen dan menjadi pemimpin penguatan mata uang di Asia.

Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Wisnubroto mengatakan saat rupiah telah menguat cukup signifikan, namun dengan risiko ketidakpastian masih tinggi.

“Penguatan rupiah saat ini disebabkan spekulasi pasar bahwa the Fed akan menurunkan suku bunga tahun ini,” kata Rully kepada Bisnis, Selasa (4/4/2023).

Adapun, ke depan Rully mengatakan masih berpendapat bahwa suku bunga Fed Fund Rate (FFR) masih belum akan diturunkan tahun ini, dan rupiah dinilai masih akan bergerak di kisaran Rp15.000.

Rully menyebutkan katalis utama yang akan menggerakkan rupiah adalah arah suku bunga di AS, pergerakan indeks dolar AS, yang saat ini sedang mengalami depresiasi, kondisi neraca perdagangan Indonesia, dan juga neraca transaksi berjalan.

“Pergerakan rupiah tahun ini juga diperkirakan akan dipengaruhi oleh situasi politik menjelang pemilu,” ungkapnya.

Terhadap pasar modal, Rully menilai penguatan rupiah akan lebih berdampak signifikan ke pasar obligasi pemerintah (SBN), beriringan dengan arus modal asing yang masuk, terutama di SBN yang cukup deras sepanjang tahun ini.

Sementara itu, ke pasar saham kemungkikan dampaknya akan lebih panjang, misalnya berdampak kepada beban operasional dan utang perusahaan yang berdenominasi valas yang cenderung menurun sehingga akan mendorong kinerja perusahaan.

Sementara itu, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan di tengah harga komoditas energi yang mengalami lonjakan tajam akibat pengumuman dari OPEC+ mengenai rencana pengurangan produksi. Akan tetapi, kenaikan ini hanya memicu aksi jual di indeks Nasdaq dan membuatnya turun 0,3 persen.

Hal Ini mengindikasikan dampak supply shock yang terbatas terhadap perekonomian secara keseluruhan. Sementara itu, sentimen positif di pasar obligasi global tetap bertahan yang ditandai dengan penurunan imbal hasil US Treasury dan Bond 10-tahun masing-masing sebesar 6 dan 4 bps menjadi 3,41 persen dan 2,26 persen.

“Kami optimistis terhadap potensi apreasiasi rupiah karena pelemahan indeks dolar AS dengan potensi penguatan dalam rentang Rp14.900-Rp15.000 per dolar AS,” ungkapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper