Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak naik dalam sesi yang bergejolak pada akhir perdagangan Jumat (24/2/2023), dan datar pada minggu ini, dengan harga didukung oleh prospek ekspor Rusia yang lebih rendah tetapi ditekan oleh meningkatnya persediaan di Amerika Serikat dan kekhawatiran atas aktivitas ekonomi global.
Mengutip Antara, minyak mentah berjangka Intermediate West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April terangkat 93 sen atau 1,2 persen, menjadi menetap pada 76,32 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman April menguat 95 sen atau 1,2 persen, menjadi ditutup pada 83,16 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Kedua kontrak turun lebih dari satu dolar AS per barel di awal sesi perdagangan, sementara untuk minggu ini sedikit berubah.
Volume perdagangan yang lebih rendah berkontribusi pada volatilitas, dengan perdagangan Brent di 58 persen dan perdagangan WTI di 90 persen dari level sesi sebelumnya.
Pada hari peringatan invasi Rusia ke Ukraina, patokan global minyak mentah Brent sekitar 15 persen lebih rendah dari setahun sebelumnya. Brent mencapai level tertinggi 14 tahun hampir 128 dolar AS per barel pada 8 Maret 2022.
Baca Juga
Kedua harga acuan naik sekitar dua persen di sesi sebelumnya terkait rencana Rusia untuk memangkas ekspor minyak dari pelabuhan-pelabuhan barat hingga 25 persen pada Maret, yang melebihi pengurangan produksi yang diumumkan sebesar 500.000 barel per hari.
Tetapi kenaikan harga dibatasi oleh persediaan AS pada level tertinggi sejak Mei 2021, menurut data dari Badan Informasi Energi AS.
Indikator pasokan masa depan, rig minyak AS turun tujuh menjadi 600 minggu ini, sementara jumlah total masih naik 103 rig atau 15,8 persen, dibandingkan waktu ini tahun lalu, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes Co.
Indikasi bahwa minyak mentah dan produk olahan Rusia menumpuk di kapal tanker yang mengapung di laut juga mengisyaratkan peningkatan pasokan.
JP Morgan mengatakan dalam sebuah catatan bahwa menurutnya harga jangka pendek lebih cenderung melayang lebih rendah menuju 70-an dolar AS daripada naik "karena hambatan pertumbuhan global menguat dan kelebihan persediaan 'suram' yang diperburuk oleh membanjirnya minyak Rusia".
Bank juga mengatakan memperkirakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan memangkas produksi untuk membatasi penurunan harga minyak.
Risalah pertemuan Federal Reserve AS terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pejabat tetap hawkish pada inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja yang ketat, menandakan pengetatan moneter lebih lanjut.
Prospek kenaikan suku bunga lebih lanjut mendukung indeks dolar, yang ditetapkan untuk kenaikan minggu keempat berturut-turut. Indeks sekarang naik sekitar 2,5 persen untuk bulan ini.
"Sementara, pasokan Rusia yang terbatas tentu saja merupakan pertimbangan bullish yang tangguh, aksi harga di bulan ini telah mengirim pesan kuat bahwa kenaikan suku bunga AS yang diperkuat lebih lanjut oleh risalah Fed, akan menjadi hambatan utama untuk kekuatan harga minyak yang berkelanjutan," kata Jim Ritterbusch dari konsultan Ritterbusch and associates.
Dolar yang kuat membuat harga komoditas dalam greenback lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.