Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah menguat pada perdagangan Selasa (24/1/2023) lepas dari Rp15.000 ke Rp14.887 per dolar AS. Sepanjang 2023, rupiah juga berhasil menguat hampir 4 persen di hadapan dolar AS. Lalu bagaimana dampaknya ke emiten di Indonesia?
Analis Forex JP Morgan Abbas Keshvani memperkirakan bahwa masih ada peluang untuk rupiah lanjut menguat dalam jangka pendek, terutama karena transaksi berjalan diperkirakan akan tetap surplus pada kuartal I/2023 meski masih ada potensi pelemahan memasuki semester II/2023 karena transaksi berjalan kemungkinan akan kembali ke defisit.
“Kami yakin pasar ekuitas dapat bereaksi positif terhadap penguatan rupiah baru-baru ini meskipun hal ini belum tercermin dalam IHSG yang masih baru menguat 0,15 persen year to date saat ini,” jelas Abbas dalam riset, dikutip Selasa (24/1/2023).
Penguatan rupiah bakal berdampak positif lantaran apresiasi 1 persen pada rupiah terhadap dolar akan menggerakkan pendapatan per saham (EPS) di pasar, dengan asumsi semua faktor lainnya konstan.
Penguatan rupiah juga akan berbuah positif bagi perusahaan dan pengusaha impor yang menggunakan biaya berbasis dolar AS, misalnya perusahaan barang konsumen yang mengimpor bahan baku dan perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS.
“Kami masih memperhatikan risiko dari perputaran aliran dana asing ke China, namun kami tetap optimistis pada sektor-sektor tertentu di Indonesia seperti perbankan dan material yang mengandalkan investasi asing dan ekspansi kendaraan listrik, serta sektor barang konsumen, dan kesehatan yang mencatat pendapatan defensif, dan dari sektor energi,” papar Abbas.
Baca Juga
Abbas juga memberikan rekomendasi untuk melakukan long position pada rupiah. Abbas optimistis murahnya rupiah dapat ditutup dengan prospek yang lebih baik untuk imbal hasil AS yang mendorong arus masuk asing kembali ke obligasi Indonesia.
Dalam jangka pendek, JP Morgan melihat apresiasi rupiah masih akan berlanjut namun dengan kecepatan yang lebih lambat karena lebih banyak aliran masuk utang dan neraca perdagangan yang tetap surplus pada kuartal ini.
Namun, surplus tersebut berpotensi berkurang pada kuartal-kuartal mendatang karena neraca perdagangan bisa berubah menjadi defisit pada semester II/2023.
“Adapun, prospek jangka menengah terlihat kurang menguntungkan bagi rupiah, meskipun latar belakang makronya seharusnya tetap lebih konstruktif,” jelas Abbas.