Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada awal perdagangan Rabu (23/11/2022).
Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.03 WIB, rupiah dibuka melemah 3,5 poin atau turun 0,02 persen sehingga berada di posisi Rp15.700 per dolar AS. Sementara itu, Indeks dolar AS terpantau melemah 0,04 persen atau turun 0,045 poin ke 107,02.
Sementara itu, mata uang lain di kawasan Asia juga terpantau bergerak bervariatif terhadap dolar AS pada perdagangan pagi ini. Won Korea Selatan memimpin kenaikan dengan penguatan 0,40 persen. Kemudian disusul peso Filipina yang menguat 0,33 persen terhadap greenback dan rupee India naik 0,22 persen.
Di sisi lain, yuan China terpantau melemah 0,8 persen. Begitu pula yen Jepang yang turun 0,09 persen dan baht Thailand melemah 0,01 persen.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan dolar AS sempat melemah pada penutupan perdagangan kemarin, meskipun tetap tinggi. Hal ini membuat investor berbondong-bondong ke mata uang safe-haven di tengah kekhawatiran atas gejolak Covid di China.
China memperingatkan soal risiko kembali menghadapi ujian paling parah dari pandemi Covid-19, dengan lonjakan kasus Covid-19 yang memicu langkah-langkah pembatasan baru. Kematian akibat virus juga tercatat di Beijing untuk pertama kalinya sejak akhir Mei.
Baca Juga
Investor pun terus menilai ulang ekspektasi seberapa tinggi Federal Reserve akan menaikkan suku bunga karena upaya untuk menurunkan inflasi dari mendekati level tertinggi 40 tahun.
Pidato dari pembicara Fed pada Senin memberikan beberapa kejutan, dengan Presiden Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan bank sentral dapat menurunkan ke kenaikan suku bunga yang lebih kecil mulai bulan depan. Presiden Fed San Francisco Mary Daly mengatakan dampak dunia nyata dari kenaikan suku bunga kemungkinan lebih besar dari target suku bunga jangka pendeknya.
Dari sisi internal, pasar masih mencerna pernyataan Bank Indonesia (BI) yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat disertai dengan tingginya tekanan inflasi, agresifnya kenaikan suku bunga acuan di negara maju, serta berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan.
“Ada ancaman baru yang saat ini tengah membayangi gejolak ekonomi global. Ancaman itu dinamakan resflasi, atau merupakan gabungan dari risiko resesi dan tingginya inflasi,” ungkap Ibrahim dalam riset, Selasa (22/11/2022).
Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi global kemungkinan turun dari yang semula diprediksi berada di 3 persen pada 2022, turun menjadi 2,6 persen pada 2023, yang berakibat pada probabilitas resesi di AS dan Eropa mendekati 60 persen.
Tekanan inflasi dan inflasi inti global juga diprediksi masih tinggi hingga 2023. BI memperkirakan, tingkat inflasi dunia dapat menyentuh 9,2 persen (year-on-year/yoy) hingga akhir tahun, dan masih tinggi pada 2023 tapi akan mendingin ke 5,2 persen.