Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah meskipun Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 days repo rate (BI7DRR).
Sampai penutupan perdagangan Jumat (18/11/2022), rupiah melemah 0,14 persen ke level Rp15.684, padahal dalam Rapat Dewan Gubernur terakhir BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen.
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip mengatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rupiah bergerak di level Rp15.500–15.600 per dolar AS dan tidak kunjung menguat.
Pertama, pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh Fed Fund Rate (FFR) yang naik signifikan sejak Maret 2022. Suku bunga yang makin tinggi menyebabkan meningkatnya aliran dana keluar (capital outflow) dan memperlemah posisi rupiah.
Data yang dihimpun IEI menunjukkan bahwa nilai capital outflow year-to-date (ytd) mencapai Rp161 triliun, baik dari pasar saham dan surat berharga negara (SBN). Nilai tersebut lebih besar daripada capital outflow pada periode yang sama di 2020 sebesar Rp87,9 triliun dan Rp82,6 triliun di 2021.
Faktor selanjutnya adalah real interest rate Indonesia yang kurang menarik dibandingkan dengan negara emerging market lainnya telah memiliki angka yang positif seperti Brasil, Meksiko dan China. Real interest rate Indonesia berada di angka -0,46. Sementara China di 1,55, Brasil di 7,28, dan Meksiko 1,59.
“Dengan posisi tersebut, para investor portofolio memiliki lebih banyak opsi dalam menempatkan dananya di luar pasar keuangan Amerika Serikat,” kata Sunarsip dalam konferensi pers, Sabtu (19/11/2022).
Ketiga, Sunarsip mengatakan ketimpangan pasokan dan permintaan dolar AS juga menjadi pemicu pelemahan rupiah. Dia mengatakan permintaan dolar AS masih tinggi, terutama untuk kebutuhan impor, repatriasi, pembayaran utang luar negeri (ULN).
Di sisi lain, pasokan dolar AS cenderung stagnan akibat terbatasnya dana asing yang masuk ke pasar dalam negeri. Keterbatasan suplai valas antara lain tercermin dari indikator loan to deposit ratio (LDR) valas yang meningkat tajam selama 2022. Kenaikan LDR valas mencerminkan bahwa kebutuhan pembiayaan valas tinggi namun suplai valas dari masyarakat terbatas.
“Tahun ini, rasio ULN jangka pendek yang jatuh tempo meningkat signifikan. Hal ini,
terlihat dari rasio ULN jangka pendek yang jatuh tempo terhadap cadangan devisa yang meningkat dari 41,01 persen pada akhir 2021 menjadi 48,89 persen pada Juni 2022,” tambahnya.
Faktor terakhir yang menjadi pemicu pelemahan rupiah, lanjut Sunarsip, adalah perkembangan penerbitan emisi efek di pasar modal selama tahun 2022 kurang atraktif dibandingkan dengan tahun lalu.
Hal ini antara lain terlihat nilai emisi efek selama sampai dengan November 2022 yang mencapai Rp211,69 triliun dari penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO), rights issue, dan penerbitan obligasi atau sukuk. Nilai itu lebih rendah daripada 2021 yang menyentuh Rp363,29 triliun.
“Penurunan nilai emisi efek baru tersebut terutama terjadi pada IPO dan rights issue. Selain dari sisi nilai, kurangnya emisi dari emiten big player dan big name selama 2022 juga berpengaruh dalam menarik modal asing portofolio masuk ke pasar modal Indonesia,” katanya.