Bisnis.com, JAKARTA - Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mengeluarkan laporan keuangan yang tidak diaudit untuk periode 9 bulan 2022 dengan pertumbuhan laba bersih akibat dari restrukturisasi. Jika perhitungan restrukturisasi tidak dimasukan berapa kinerja bottom line GIAA yang sebenarnya?
Garuda Indonesia membukukan pendapatan usaha senilai US$1,5 miliar atau setara Rp23,6 triliun (kurs Jisdor Rp15.681 per dolar AS) pada 9 bulan 2022. Pendapatan usaha ini naik signifikan 60,35 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$939 juta.
Pendapatan usaha ini sebagian besar dikontribusi oleh penerbangan berjadwal senilai US$1,15 miliar. Sisanya dikontribusikan oleh penerbangan tidak berjadwal US$162,7 juta, dan pendapatan lainnya US$185,9 juta.
Beban usaha GIAA tercatat turun menjadi US$1,8 miliar, turun 6,12 persen dari US$1,98 miliar secara tahunan atau year-on-year (yoy). Jumlah beban usaha ini masih jauh lebih besar dibandingkan pendapatan GIAA yang sebesar US$1,5 miliar.
Meski demikian, GIAA masih mencatatkan hasil positif pada pos pendapatan usaha lainnya. GIAA mencatatkan pendapatan usaha lainnya sebesar US$4,27 miliar, berbanding terbalik yakni minus US$729 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Nah dari penilaian pendapatan usaha lainnya terdapat dua pemasukan secara buku terkait restrukturisasi utang yakni pendapatan dari restrukturisasi utang sebesar US$2,85 miliar dan keuntungan dari restrukturisasi pembayaran sebesar US$1,33 miliar. Total senilai US$4,18 miliar.
Baca Juga
Pendapatan usaha lainnya ini membuat GIAA mampu mencetak laba bersih senilai US$3,7 miliar atau setara Rp58 triliun hingga 9 bulan 2022. Hal ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu dengan rugi bersih sebesar US$1,6 miliar.
Dengan demikian, jika pendapatan terkait restrukturisasi senilai US$4,15 miliar dikeluarkan dari perhitungan laba bersih, GIAA masih mencatatkan rugi bersih senilai US$490 juta atau Rp7,68 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan secara konsisten terus memaksimalkan misi transformasi menyeluruh dalam rangka mencapai maskapai yang simple, profitable, dan full service.
"Hal ini sekaligus mengoptimalkan daya saing Garuda dalam memasuki tahun kebangkitan sektor aviasi yang diproyeksikan akan mulai berlangsung pada 2023 mendatang," katanya dalam keterangan, Jumat (4/11/2022).
Irfan percaya tiga hal ini bakal membantu memperkuat langkah Garuda Indonesia mempercepat proses restrukturisasi hingga rampung pada akhir tahun ini. Ketiga hal tersebut yakni outlook kinerja yang positif, putusan Mahkamah Agung atas penolakan kasasi PKPU, serta berbagai percepatan langkah rekognisi hasil putusan PKPU melalui otoritas hukum di Amerika Serikat.
"Hal ini yang tentunya turut menjadi momentum penting bagi upaya Garuda dalam memaksimalkan momentum bangkitnya sektor industri aviasi di tahun 2023 mendatang," tutur Irfan.
Hingga September 2022, GIAA mencatatkan penerimaan kas dari pelanggan sebesar US$1,58 miliar, dengan kas yang dihasilkan dari operasi sebesar US$295 juta.
Sementara itu, total aset GIAA turun menjadi US$5,88 miliar per akhir September 2022, dibandingkan akhir Desember 2021 yang sebesar US$7,19 miliar.
Total liabilitas GIAA turun menjadi US$8,29 miliar di 30 September 2022, dari US$13,3 miliar di 31 Desember 2021. Total ekuitas GIAA tercatat masih menunjukkan ekuitas negatif, yakni US$2,4 miliar di September 2022, berkurang dibandingkan Desember 2021 yang negatif US$6,1 miliar.