Bisnis.com, JAKARTA — Aksi penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) masih semarak menjelang awal semester II/2022. Sampai saat ini, setidaknya terdapat empat calon emiten yang berada pada tahap book building.
Beberapa perusahaan yang akan IPO adalah perusahaan jasa kelistrikan PT Arkora Hydro Tbk. (ARKO), emiten konstruksi dan tambang PT Hillcon Tbk. (HILL), perusahaan perkebunan tebu dan industri gula PT Aman Agrindo Tbk. (GULA), dan perusahaan peternakan ayam broiler dan perdagangan eceran hewan ternak PT Dewi Shri Farmindo Tbk. (DEWI).
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti mengemukakan ARKO dan GULA menjadi calon emiten yang paling menarik.
Analisis yang dilakukan Pilarmas memperlihatkan bahwa ARKO memiliki prospek yang positif, seiring dengan dukungan pemerintah pada peningkatan penggunaan energi terbarukan.
Dukungan pembiayaan pada pengembangan energi baru terbarukan juga cukup besar. Hal ini tecermin dari penerbitan obligasi hijau yang dilakukan oleh sejumlah bank pelat merah baru-baru ini.
Dari sisi pasar, kebutuhan listrik saat ini didominasi oleh sektor industri dengan pangsa sebesar 52 persen, kemudian komersial 30 persen, rumah tangga 17 persen, dan sisanya 1 persen di sektor transportasi.
Baca Juga
“Kalau kami lihat dari sisi bisnisnya, memang emiten yang murni untuk jasa kelistrikan dengan energi terbarukan masih sangat jarang. Saat ini yang sudah listing TBS Energi (TOBA) dan Semacom Integrated (SEMA). Trennya saat ini memang perusahaan heavy carbon sedang diversifikasi ke energi terbarukan," kata Desy kepada Bisnis, Senin (27/6/2022).
Secara fundamental, tingkat pendapatan ARKO secara tahunan tumbuh cukup signifikan sampai 281 persen, tetapi kalau selama 4 tahun CAGR-nya 4 persen.
Desy mencatat aset ARKO didominasi oleh utang dengan porsi mencapai 75 persen, sehingga struktur permodalannya cenderung moderat di level 3,05 kali.
Sementara itu, PT Aman Agrindo Tbk. (GULA) yang bergerak di bisnis perkebunan tebu dan produksi gula memang menghadapi tantangan yang lebih besar. Namun Desy menilai tantangan tersebut bisa menjadi peluang karena kebutuhan gula Tanah Air cenderung terus tumbuh.
“Emiten gula juga masih sangat jarang. Jadi ini satu peluang baik dari sisi hulu ke hilir. Dari sisi hulu, emiten perkebunan tebu juga masih jarang. Saat ini yang terpantau adalah Tunas Baru Lampung (TBLA), hanya saja bisnisnya terdiversifikasi bukan murni di gula,” paparnya.
GULA tercatat memiliki komitmen untuk mengembangkan bisnis gula dari hulu ke hilir. Hal ini terlihat dari rencana penggunaan dana IPO untuk membangun pabrik gula. Meski demikian, tantangan bisnis GULA akan datang dari risiko fluktuasi harga acuan gula internasional, mengingat Indonesia termasuk importir gula mentah terbesar. Di sisi lain, produsen gula besar seperti India dan Brasil masih membatasi ekspor komoditas tersebut.
“GULA memang memiliki lahan sendiri dengan luas sekitar 150 hektare, tetapi kami melihat masih terbatas karena siklus replanting 4 tahun sekali dan produksi berlangsung 10-12 bulan. Akibatnya hasil produksinya kurang stabil dan bisa berdampak ke stabilitas hasil penjualan," tambahnya.
Namun dengan rencana perusahaan melantai di Bursa Efek Indonesia, GULA memiliki peluang lebih besar untuk melakukan ekspansi dari dana hasil IPO. Desy mengatakan GULA memiliki potensi perluasan bisnis dan pasar.
Secara fundamental, pertumbuhan pendapatan GULA secara tahunan terpantau positif dengan kenaikan 43 persen pada 2021. Ekuitas perusahaan tersebut juga lebih besar sehingga struktur permodalan dalam posisi aman.