Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diharapkan menerbitkan lebih banyak Surat Berharga Negara (SBN) yang menyasar kepada ritel untuk menjaga pasar obligasi dalam negeri.
Direktur Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan pemerintah perlu lebih banyak SBN dengan target pasar investor ritel. Dengan begitu, pasar obligasi lebih terjaga ke depannya.
“Penambahan penerbitan SBN ke individu dalam negeri sangat baik untuk diversifikasi basis investor, mengurangi volatilitas yield di pasar SBN,” ujarnya kepada Bisnis pada Jumat (28/1/2022).
Lebih jauh Farash menambahkan bahwa rasa lapar investor ritel terhadap SBN masih tinggi. Misalnya seperti Obligasi Negara Ritel (ORI), Savings Bond Ritel (SBR), dan Sukuk Ritel (Sukri).
Menurutnya ini adalah momentum yang tepat untuk menyasar ritel. Pasalnya dengan tingkat inflasi yang rendah, imbal hasil obligasi negara saat ini masih menarik. Selain itu, likuiditas perbankan masih tinggi sehingga permintaan SBN juga masih besar.
“Saat ini tingkat deposito yang masih rendah juga dan minat investor individu berinvestasi masih tinggi,” imbuhnya.
Baca Juga
Farash memperkirakan suku bunga tahun ini akan bertambah antara 50 basis poin hingga 75 basis poin.
Sementara itu, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengharapkan ada insentif yang diberikan ke pemerintah ke industri reksa dana. Adapun pemerintah telah menurunkan tarif pajak untuk obligasi menjadi 10 persen dari sebelumnya 15 persen.
“Jika ada insentif untuk industri reksa dana sebagaimana dulu, akan lebih baik lagi. Pasalnya reksa dana juga merupakan memiliki obligasi dalam porsi yang cukup besar per Desember 2021 pada posisi Rp148 triliun,” katanya kepada Bisnis, Jumat (28/1/2022).
Rudiyanto menambahkan sejauh ini pasar domestik memiliki kekuatan dalam menyerap obligasi. Pasalnya banyak dana asing yang keluar dari Surat Utang Negara, tetapi harga obligasi masih relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa dana yang keluar banyak terserap oleh investor domestik
Meski demikian, Rudiyanto menilai bahwa tahun ini bunga obligasi akan terkerek naik imbas dari tapering yang dilakukan Amerika Serikat.
“Ada kemungkinan menyesuaikan dengan kebijakan Bank Sentral AS, namun terbatas di 2 kali-3kali kenaikan antara 0,50 persen sampai 0,75 persen karena kondisi domestik Indonesia yaitu inflasi terkendali dan surplus transaksi,” katanya.