Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Paling Perkasa saat Mayoritas Mata Uang Asia Keok

Mata uang Garuda ditutup naik 0,21 persen menjadi Rp14.222 per dolar AS pada akhir pekan ini.
Karyawati menunjukkan mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. di Jakarta, Selasa (5/1/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati menunjukkan mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. di Jakarta, Selasa (5/1/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah terapresiasi signifikan dan bahkan menjadi jawara di kawasan Asia Pasifik pada akhir pekan ini.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup naik 0,21 persen menjadi Rp14.222 per dolar AS pada Jumat (17/9/2021).

Di sisi lain, mayoritas mata uang di kawasan Asia Pasifik terpantau ditutup turun. Beberapa mata uang yang bertahan di zona hijau bersama rupiah seperti peso Filipina naik 0,02 persen dan yuan China naik 0,08 persen.

Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan dolar AS terpantau melemah 0,08 persen menjadi 92.860.

Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan penguatan mata uang Garuda hari ini ditopang oleh fundamentalnya yang terus menguat.

“[Hal itu] tercermin dari neraca dagang yang dirilis 15 September 2021, surplusnya naik ke US$4,5 miliar dan ekspor Indonesia membaiknya cukup kuat karena faktor kenaikan harga batubara dan minyak kelapa sawit [CPO],” kata Faiz kepada Bisnis, Jumat (17/9/2021).

Selain itu, lanjut Faiz, perkembangan pandemi Covid-19 yang kian membaik terlihat dari jumlah kasus positif harian yang menurun dalam laju cepat dan konsisten di bawah 5.000 kasus per hari juga diapresiasi positif oleh pelaku pasar.

Adapun, perbaikan kondisi pandemi itu akan mendorong pemerintah kembali melonggarkan pembatasan sosial. Faiz menunjukkan akhir-akhir ini mobilitas masyarakat di luar ruang juga kembali terlihat sementara di beberapa negara lain masih memberlakukan pembatasan.

Dari sisi eksternal, Faiz mengatakan data makroekonomi di Amerika Serikat yang tidak sekuat perkiraan, seperti data CPI inflasi dan penjualan ritel, tampil sebagai pemberat langkah dolar AS.

“Hal ini terkait lagi dengan kasus varian Delta dan ketidakpastian mutasi Covid-19 di sana [AS],” imbuh Faiz.

Sementara itu, sentimen tapering dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) yang akan dimulai akhir tahun ini perlahan mulai memudar. Pasalnya, kondisi dolar AS saat ini berada dalam tren pelemahan (weak tone) setidaknya untuk beberapa saat.

Faiz mengatakan saat ini fokus pelaku pasar mengarah ke rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) dari The Fed berikutnya untuk melihat panduan terbaru dari bank sentral.

Bank Danamon memperkirakan rupiah akan bergerak pada rentang Rp14.250—Rp14.300 hingga akhir bulan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper