Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wall Street Ditutup Jatuh Akhir Pekan, Melemah 5 Hari Beruntun

Pemerintah AS yang berpotensi menyelidiki subsidi sektor industri China dan dampaknya terhadap ekonomi AS membuat pasar saham melemah.
Seorang pejalan kaki yang memakai masker lewat di depan gedung bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, pada Kamis, (22/7/2021)./Bloomberg
Seorang pejalan kaki yang memakai masker lewat di depan gedung bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, pada Kamis, (22/7/2021)./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat (AS) memperpanjang pelemahan menjadi lima hari beruntun pada penutupan perdagangan Jumat (10/9/2021) waktu setempat. Hal ini lantaran investor yang semakin berhati-hati perihal dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian.

Berdasarkan data Bloomberg, Sabtu (11/9/2021), indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 0,78 persen ke 34.607,72, sementara S&P 500 turun 0,77 persen ke 4.458,58, sedangkan Nasdaq tergelincir 0,89 persen ke 15.115,49.

Presiden AS Joe Biden berbicara dengan Presiden China Xi Jinping untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, sempat menumbuhkan kepercayaan diri investor pada awal sesi perdagangan. Meskipun hanya sedikit kemajuan yang dicapai, pembicaraan dua pemimpin negara tersebut menyoroti bagaimana dua ekonomi terbesar dunia masih menjaga jalur komunikasi tetap terbuka.

Namun, setelah Bloomberg melaporkan bahwa pemerintahan Biden berpotensi menyelidiki subsidi sektor industri China dan dampaknya terhadap ekonomi AS, pasar saham membalikkan kenaikan awal.

"Hubungan China-Amerika sedang rusak, dan pembicaraan hari ini tampaknya tidak mengubah ini," kata Marc Chandler, kepala strategi pasar Bannockburn Global Forex.

Dia menambahkan, AS tampaknya membuat daftar tindakan yang ingin dilakukan China, sementara tuntutan China terhadap AS tampak minimalis yakni berhenti mengutuk kebijakan mereka.

Sementara itu, data ekonomi AS pada Jumat menunjukkan bahwa indeks harga yang dibayar oleh produsen melonjak pada Agustus lalu, karena pasokan dan ketegangan tenaga kerja memberikan lebih banyak tekanan inflasi pada ekonomi.

Data harga produsen ini menunjukkan bagaimana permintaan tetap panas dan tangguh, bahkan dalam menghadapi Covid-19. Indeks harga produsen melonjak sebesar 0,7 persen bulan lalu, dan meroket sebesar 8,3 persen secara tahunan, kenaikan tahun ke tahun terbesar sejak November 2010, setelah melonjak 7,8 persen pada Juli 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg/Yahoo Finance
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper