Bisnis.com, JAKARTA - Saham-saham blue chip atau saham lapis satu mulai menunjukkan performa yang lebih baik pada awal semester II/2021 ini. Utamanya hal itu didorong oleh prospek pemulihan ekonomi dan aksi beli bersih dari investor asing.
Kendati demikian, sinyal pengetatan atau tapering dari Bank Sentral AS (Federal Reserve) bisa menjadi ganjalan bagi saham blue chip untuk terus menanjak.
Berdasarkan data Bloomberg pada periode 1 — 18 Agustus 2021, indeks LQ45 yang berisi 45 saham paling likuid tumbuh 5,70 persen.
Kenaikan itu lebih tinggi atau outperform dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya menguat 0,79 persen month-to-date.
Selain itu, indeks Bisnis-27 juga outperform dari IHSG dengan kenaikan 4,90 persen bersama indeks IDX30 yang naik 5,55 persen dan indeks IDX80 yang naik 4,29 persen.
Kendati demikian, sejak awal tahun performa saham blue chip masih kalang dibandingkan IHSG. Seluruh indeks saham blue chip masih tertahan di zona merah sejak awal tahun ketika IHSG tumbuh 0,22 persen per 19 Agustus 2021.
Baca Juga
Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani menjelaskan kenaikan harga saham-saham blue chip tak terlepas dari penurunan angka kasus harian Covid-19 belakangan ini.
“Hal itu memberikan potensi perbaikan ekonomi buat ekonomi Indonesia. Selain itu foreign inflow juga mendorong penguatan blue chips,” kata Hendriko kepada Bisnis, Kamis (19/8/2021).
Adapun, investor asing mencatatkan aksi beli bersih hingga Rp872,57 miliar pada 18 Agustus 2021, sehingga total net buy investor asing mencapai Rp19,62 triliun sejak awal tahun.
Selain itu, Hendriko menyampaikan bahwa investor juga tampak kian mencermati saham-saham berfundamental baik untuk dikoleksi, seperti emiten berkapitalisasi pasar besar (big caps). Kendati demikian, fokus investor ke saham dengan potensi pertumbuhan tinggi dalam beberapa tahun ke depan (growth stock) dinilai belum akan berubah.
Hendriko pun merekomendasikan saham-saham blue chip seperti BBNI, BMRI, ASII, TLKM, BBCA, dan BBRI untuk dicermati.