Bisnis.com, JAKARTA – Potensi pengetatan kebijakan moneter dari The Fed diyakini akan menimbulkan efek konstruktif bagi pasar obligasi Indonesia seiring dengan kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang terjaga.
Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia menjelaskan, normalisasi kebijakan Fed menjadi salah satu faktor penting dalam pergerakan pasar obligasi tahun ini. Tren pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) – yang ditunjukkan oleh meningkatnya proyeksi pertumbuhan PDB dan inflasi – menyebabkan pergeseran kebijakan moneter Fed dari yang sangat longgar menjadi lebih ketat.
Ia memaparkan, kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi mengurangi likuditas global dan memberikan tekanan pada pasar obligasi. Kendati demikian, pendekatan dan arahan Fed yang ultra-gradual diperkirakan akan membuat dampak negatif dari pengetatan moneter tersebut menjadi lebih terbatas, tidak seperti taper tantrum di tahun 2013.
“Kebijakan pengetatan Fed dan dampaknya terhadap kenaikan imbal hasil US Treasury sudah diperhitungkan dan diterima oleh pasar sejak awal tahun,” katanya dikutip dari keterangan resmi, Minggu (8/8/2021).
Di samping itu, pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan sudah mencapai puncaknya pada kuartal II/2021 berpotensi mempengaruhi rilis data perekonomian AS ke depannya menjadi lebih moderat. Hal tersebut akan membuat ekspektasi terhadap pemulihan pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi lebih terbatas.
“Kondisi ini dapat mempengaruhi volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury agar lebih terjaga,” jelasnya.
Baca Juga
Ia mengatakan, perubahan kebijakan moneter dan fiskal Amerika Serikat sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia tentu memiliki pengaruh terhadap negara lain, khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruhnya dapat dirasakan melalui pergerakan suku bunga, imbal hasil obligasi, serta nilai tukar domestik.
Meskipun kebijakan moneter AS yang lebih ketat berpotensi mempengaruhi pergerakan imbal hasil obligasi domestik dan nilai tukar rupiah, namun pendekatan Fed yang ultra-gradual serta kebijakan pengetatan moneternya yang sudah diperhitungkan dan diterima oleh pelaku pasar berpotensi membuat volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury dapat lebih terjaga.
Selain itu, secara fundamental perekonomian Indonesia juga semakin membaik. Beberapa indikator seperti neraca transaksi berjalan, inflasi, dan cadangan devisa menunjukkan perbaikan yang cukup berarti sehingga kondisi ini dapat membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan bank sentral AS.
“Ke depannya, jika terjadi kenaikan imbal hasil US Treasury – selama kenaikan tersebut terjadi secara bertahap – maka akan memberikan dampak yang konstruktif terhadap perekonomian dan pasar finansial Indonesia,” papar Laras.
Lebih lanjut, Laras menuturkan, ada dua faktor penting yang dapat mendukung pergerakan pasar obligasi yaitu siklus suku bunga dan mekanisme dari sisi permintaan dan penawaran.
Ia mengatakan, kebutuhan untuk menjaga stabilitas rupiah, inflasi yang terkendali dan upaya untuk mendorong perekonomian membuat Bank Indonesia mempertahankan kebijakan moneter akomodatif yang berdampak positif bagi pasar obligasi. Kondisi makro yang relatif positif berkontribusi pada imbal hasil riil obligasi Indonesia yang menarik.
Sementara itu, langkah pemerintah untuk mengurangi pasokan obligasi di paruh kedua menjadi katalis positif yang dapat mendukung pergerakan obligasi menjelang akhir tahun. Pemerintah mengurangi target pembiayaan utang di tahun ini sebesar Rp283 triliun menjadi Rp924 triliun.
Disamping itu, pemerintah juga berencana untuk menggunakan SILPA atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yang berpotensi mengurangi target pembiayaan sekitar 24 persen lebih rendah dari target sebelumnya. Rencana optimalisasi penerbitan obligasi ritel juga diharapkan dapat meningkatkan gairah investor domestik berinvestasi di pasar obligasi.
“Penanganan pandemi yang efektif dan cepat turut diperlukan untuk mendorong sentimen yang lebih positif di pasar obligasi,” tutupnya.