Bisnis.com, JAKARTA – Lonjakan harga gas alam selama setahun terakhir berpotensi menimbulkan efek riak pada perekonomian global.
Dilansir dari Bloomberg, Sabtu (7/8/2021), level harga gas alam di Eropa telah melesat lebih dari 1.000 persen dari level terendahnya pada Mei 2020 seiring dengan pandemi virus corona. Sementara itu, harga LNG di Asia telah naik enam kali lipat dalam periode yang sama.
Kenaikan harga gas alam juga terjadi di AS dimana revolusi minyak serpih (shale oil) mendorong lonjakan produksi bahan bakar ini. Harga gas alam di Negeri Paman Sam tercatat telah melesat ke level tertingginya dalam 1 dekade terakhir.
Gas alam merupakan salah satu jenis bahan bakar yang digunakan untuk listrik dan pemanas ruangan. Selama 10 tahun terakhir, persediaan komoditas ini terbilang melimpah, utamanya dari AS dan Australia, yang membuat harganya dapat ditekan.
Namun, lonjakan permintaan pada tahun ini tidak dibarengi dengan kenaikan pasokan. Hal tersebut membuat reli harga gas alam menjadi tidak terhindarkan.
Dengan opsi yang terbatas, negara-negara di dunia kemungkinan besar akan tetap menggunakan gas alam meski dengan harga yang tinggi. Mereka akan menggunakan gas alam sebagai pengganti batu bara guna mencapai tujuan bebas emisi karbon dalam jangka pendek.
Baca Juga
“Gas alam akan menjadi bahan bakar transisional selama beberapa dekade ke depan seiring dengan komitmen negara-negara di dunia dalam mencapai target emisi karbon. Harga gas alam kemungkinan akan tetap tinggi dalam jangka menengah dan menguat dalam jangka panjang,” jelas Chris Weafer, CEO Macro-Advisory Ltd. dikutip dari Bloomberg.
Sementara itu, International Energy Agency (IEA) dalam laporannya memprediksi permintaan gas alam akan melonjak 7 persen dari level sebelum pandemi virus corona pada 2023 mendatang. Riset dari McKinsey & Co juga memprediksi pertumbuhan permintaan gas alam cair sebesar 3,4 persen hingga 2035, melebihi bahan bakar fosil lainnya.
Kenaikan permintaan terhadap gas alam tidak mengindikasikan adanya perlambatan selama beberapa waktu ke depan. Negara-negara di Eropa telah memulai transisi ke komoditas ini seiring dengan harga karbon yang tinggi.
Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia Selatan dan Asia Tengga telah merencanakan pembangunan lusinan pembangkit listrik bertenaga gas untuk memenuhi kebutuhan listrik. China juga diproyeksikan semakin bergantung pada gas alam seiring dengan upayanya mengurangi konsumsi batu bara.
Gavin Thompson, Asia-Pacific vice chairman Wood Mackenzie Ltd., menyebutkan, meski harga gas alam akan terus menguat, kenaikan tersebut tidak akan cukup untuk mengurangi permintaannya.
“Di negara emerging market, dengan dukungan kebijakan, kami tidak melihat adanya gangguan dari sisi permintaan,” jelasnya.