Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang internasional dalam mata uang asing alias global bond menjadi salah satu pilihan pemerintah maupun korporasi untuk menjaring dana segar di kuartal II/2021. Bagaimana prospeknya?
Dalam laporan eksekutif Direktorat Jenderal Pegelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pemerintah mematok target pengadaan utang melalui instrumen surat utang negara (SUN) Rp194,6 triliun, salah satunya melalui penerbitan Samurai Bond.
Samurai Bond sendiri merupakan surat utang dalam mata uang yen Jepang. Adapun terakhir kali pemerintah menerbitkan Samurai Bond pada Juni 2020 lalu dengan total nilai 100 miliar yen Jepang.
Sementara itu, pada 17 Mei 2021 lalu PT Pakuwon Jati juga baru saja menerbitkan surat utang tambahan dalam mata uang dolar AS dengan total nilai US$100 juta. Surat utang tersebut terkonsolidasi dengan obligasi senior sebesar US$300 juta.
Head of Research & Market Information Department Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie mengatakan global bond memang memiliki sejumlah kelebihan, salah satunya basis investor yang lebih besar sehingga potensi daya serapnya lebih besar.
Selain itu, ada peluang kupon yang harus diberikan juga lebih rendah dibandingkan dengan obligasi berdenominasi rupiah karena mengikuti tren suku bunga global yang saat ini sedang rendah. Likuiditas global yang besar juga membuat potensi serapan makin besar.
Baca Juga
“Nah likuiditas global yang besar ini terkait juga dengan potensi serapan yang besar,”
Roby menuturkan, jika dibandingkan dengan SUN dalam negeri, serapan investor asing sepanjang tahun berjalan memang masih tergolong rendah. Namun, global bond menggunakan mata uang safe haven seperti yen Jepang atau dolar AS, sehingga risiko kursnya lebih rendah bagi investor asing dibanding obligasi berdenominasi rupiah.
“Jadi investor asing lebih tertarik dibanding SUN Rupiah,” kata Roby kepada Bisnis, Rabu (19/5/2021).
Di sisi lain, ada risiko yang membayangi issuer yang melakukan penerbitan global bond yakni risiko kurs, yang mana jika terjadi pelemahan rupiah maka penerbit akan menanggung kupon dan pelunasan yang lebih besar.
“Namun sebaliknya kalau rupiah cenderung menguat maka ini kondisi yang menguntungkan bagi issuer,” tutup Roby.