Bisnis.com, JAKARTA – Emiten semen PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. akan menganggarkan belanja modal yang konservatif pada 2021. Perusahaan pelat merah ini menyebut belum akan melakukan ekspansi besar setidaknya dalam 6 – 7 tahun ke depan.
Direktur Keuangan Semen Baturaja M Jamil mengatakan alokasi capital expenditure perseroan akan kurang dari Rp100 miliar tahun ini.
“Capex hanya untuk pengembangan lahan karena cadangan kami masih cukup untuk 6 – 7 tahun lagi,” kata Jamil dalam kunjungan ke Bisnis Indonesia, Selasa (27/4/2021).
Adapun, emiten dengan kode saham SMBR ini menyebut telah memiliki cadangan batu kapur dengan kapasitas besar di Jambi. Apabila permintaan dan pasokan semen sudah lebih seimbang, perseroan berencana akan membangun pabrik ketiganya di Jambi dalam beberapa tahun mendatang dan sementara ini hanya akan memproses land acquisition.
Sejauh ini, SMBR sudah memiliki dua pabrik yaitu Pabrik Baturaja di Sumatera Selatan dan Pabrik Panjang di Lampung.
SMBR juga berencana membentuk titik-titik distribusi pengiriman semen untuk menggenjot penjualan tahun ini. Selama ini, SMBR sudah bekerjasama dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Baca Juga
Namun untuk mempermudah distribusi semen di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), perseroan juga akan bekerjasama dengan mitra untuk membangun gudang sebagai titik pengiriman.
Jamil memperkirakan pembangunan gudang bisa memakan biaya senilai Rp30 miliar sedangkan pembangunan gudang dilengkapi silo sekitar Rp100 miliar.
Untuk memperluas pangsa pasar, SMBR membidik pasar di Lampung dan Jambi alih-alih melakukan ekspansi ke luar Pulau Sumatera. Saat ini, Sumatera Selatan masih menjadi pasar utama produk semen perseroan dengan pangsa pasar sekitar 55 persen.
“Lampung masih 30 persen dan pemasok semen di sana banyak dari luar. Ke depan kami melihat peluang besar di Lampung,” imbuh Jamil.
Berdasarkan laporan keuangan tahunan 2020, emiten dengan kode saham SMBR membukukan penjualan senilai Rp1,72 triliun. Realisasi itu turun 13,88 persen dibandingkan pencapaian pada 2019 senilai Rp1,99 triliun.
Selanjutnya laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk mengalami tekanan lebih dalam sebesar 63,48 persen menjadi Rp10,98 miliar dari sebelumnya Rp30,07 miliar.