Bisnis.com, JAKARTA – Reli fantastis Bitcoin terganjal dalam beberapa hari terakhir. Aset kripto terbesar ini pun diperkirakan mencatat penurunan mingguan terburuk dalam hampir satu tahun terakhir.
Berdasarkan data Bloomberg pada Jumat (26/2/2021), Bitcoin terpantau berada pada level US$46.925 pada pukul 10.22 waktu Hong Kong, setelah sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa di kisaran US$58.000. Cryptocurrency terbesar ini pun telah merosot hingga 20 persen pekan ini, penurunan terbesar sejak Maret 2020.
Indeks Galaxy Crypto Bloomberg yang yang melacak pergerakan aset-aset kripto seperti Bitcoin, Ether, dan tiga aset kripto lainnya perpantau turun 22 persen sepanjang pekan ini.
Tekanan terhadap Bitcoin kembali datang di tengah kekacauan di pasar global, yang dipicu oleh imbal hasil obligasi menysul meningkatnya ekspektasi pertumbuhan dan ekonomi dan inflasi. Kenaikan ini memaksa pelaku pasar mengevaluasi kembali posisi mereka di berbagai kelas aset.
"Aset berisiko terpukul saat ini, melihat saham merosot dan crypto mengikuti," kata kepala pertukaran cryptocurrency Luno wilayah Asia Pasifik Vijay Ayyar, seperti dikutip Bloomberg.
"Dolar menguat, yang merupakan indikasi yang baik untuk memperkirakan penurunan Bitcoin dan crypto," lanjutnya.
Melemahnya Bitcoin dalam menghadapi perputaran pasar menimbulkan pertanyaan tentang daya tahannya sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. Argumen ini kerap diutarakan oleh pendukung aset kripto dalam satu tahun terakhir.
Di sisi lain, para kritikus berpendapat bahwa lonjakan aset digital ini hanya merupakan buble spekulatif dan diperkirakan akan mengulang kembali kejadian di akhir tahun 2017 silam.