Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak dunia bergerak menguat seiring dengan tren pelemahan dolar AS dan perbaikan prospek permintaan minyak. Tren penguatan berkelanjutan pun terbuka seiring dengan prospek penurunan persediaan minyak global.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (2/2/2021), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat naik hingga 1,05 persen ke level US$54,11 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan harga minyak Brent naik 0,98 persen ke posisi US$56,90 di ICE Futures Europe.
Harga minyak berjangka di New York berpeluang mencatatkan penutupan tertinggi dalam setahun terakhir. Hal ini terjadi setelah lonjakan pasar saham sebesar 2,6 persen pada Senin kemarin.
Sentimen tersebut juga didukung oleh outlook permintaan minyak yang membaik pada tahun ini. Perusahaan minyak milik Pemerintah Arab Saudi, Aramco, mengatakan tingkat permintaan minyak akan kembali pada level sebelum pandemi virus corona pada tahun 2021.
Sementara itu, Royal Dutch Shell Plc melakukan aksi borong minyak di pasar Laut Utara. Perusahaan minyak asal Belanda tersebut mencatatkan rekor jumlah pembelian minyak harian terbanyak dalam 10 tahun terakhir.
Tren positif harga minyak juga didukung oleh pelemahan dolar AS. Sebagai informasi, pelemahan dolar AS akan meningkatkan daya tarik komoditas seperti minyak mentah sebagai lawan dari mata uang.
Baca Juga
Adapun, kurva harga minyak berjangka juga terus menunjukkan tren positif. Hal ini mengindikasikan jumlah cadangan yang besar pada tahun lalu kini mulai terpakai dan tren pemakaian tersebut akan terus berlanjut.
Premi minyak acuan Brent saat ini terpantau sebesar 27 sen yang membentuk pola backwardation, dimana pengiriman untuk bulan terdekat lebih mahal dibandingkan bulan-bulan mendatang. Kondisi tersebut juga menggambarkan struktur pasar minyak global yang bullish.
Tren premi ini berbanding terbalik dengan kondisi contango pada beberapa waktu lalu. Kondisi contango adalah situasi dimana harga kontrak pengiriman bulan depan lebih rendah daripada pengiriman enam bulan kemudian.
Di sisi lain, pergerakan harga minyak masih dibayangi oleh masalah permintaan dalam jangka pendek. Kemunculan varian baru virus corona saat ini dinilai akan berimbas pada pemberlakuan lockdown dan proses distribusi vaksin yang tersendat.
Selain itu, lonjakan kasus virus corona pada wilayah Asia juga kembali mengancam pemulihan permintaan bahan bakar di benua tersebut.
Founder Vanda Insights, Vandana Hari mengatakan, sentimen permintaan minyak kini telah berbalik ke arah positif setelah pada pekan sebelumnya tertekan. Salah satu pendukung tren ini adalah penurunan jumlah kasus positif sekaligus kematian akibat virus corona di AS.
"Hal tersebut juga melebihi sentimen bearish pada pekan-pekan sebelumnya yang berkaitan dengan masalah distribusi vaksin virus corona di Eropa," katanya dikutip dari Bloomberg.
Sementara itu, Global Markets Strategist Axi, Stephen Innes mengatakan, tren pemulihan harga minyak yang terjadi saat ini salah satunya ditopang oleh terpenuhinya komitmen OPEC+ untuk mengurangi produksi minyak harian.
"Kekompakan negara-negara anggota OPEC+ menjadi sentimen positif bagi para pelaku pasar," jelasnya.
Hal serupa juga diungkapkan Analis Commerzbank Carsten Fritsch. Menurut Fritsch, ketegasan OPEC+ dalam menahan output minyak harian menjadi salah satu faktor utama harga minyak dapat bertahan di level US$50 per barel.
Secara terpisah, Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan, sentimen risiko yang positif menjadi penopang utama kenaikan harga minyak. Selain itu, prospek penurunan jumlah cadangan minyak dalam beberapa pekan ke depan akibat penurunan produksi yang besar dari Arab Saudi juga semakin menggairahkan pasar.
"Harga minyak pun juga berpeluang menembus US$60 per barel pada pertengahan tahun ini," katanya.
Laporan dari Goldman Sachs menyebutkan, harga minyak berpeluang menembus level US$65 per barel pada Juli 2021.
Dalam risetnya, Goldman Sachs menjelaskan, defisit persediaan minyak yang lebih besar akan semakin memanaskan harga minyak. Goldman Sachs memprediksi defisit pasar minyak global akan mencapai 900.000 barel pada semester I/2021.
"Jumlah ini lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya pada posisi 500.000 barel," demikian kutipan laporan tersebut.
Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, kebijakan pemotongan output OPEC+ akan mempertahankan harga minyak dunia di level US$50. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan tingkat permintaan minyak dunia yang ditopang oleh beberapa negara di Asia, seperti China dan India.
“Saat ini tingkat permintaan minyak mentah dari China cukup tinggi ditengah pandemi virus corona,” ujarnya.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga didukung oleh ekspektasi pasar terhadap penurunan jumlah persediaan minyak. Hal tersebut terlihat dari kurva minyak berjangka yang memperlihatkan pola backwardation yang semakin dalam.
“Apabila minyak terimbas tren berburu short squeeze seperti pada komoditas perak baru-baru ini, maka peluang kenaikan harga minyak juga terbuka,” katanya.
Wahyu memperkirakan, outlook harga minyak dunia masih akan bergerak bullish pada tahun ini. Ia mengatakan, setelah menembus level US$50 per barel harga minyak akan berada di kisaran US$40 hingga US$60 per barel pada kuartal I/2021.
“Untuk jangka pendek kemungkinan masih akan bergerak di kisaran US$50 per barel,” ujarnya.