Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan Jumat (21/1/2021) berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).
Data yang diterbitkan Bank Indonesia pagi ini menempatkan kurs referensi Jisdor di level Rp14.054 per dolar AS, melemah 15 poin atau 0,11 persen dari posisi Rp14.039 pada Kamis (21/1/2021).
Adapun berdasarkan data Bloomberg, nilai terpantau melemah 45 poin atau 0,32 persen ke level Rp14.045 per dolar AS pada pukul 10.26 WIB.
Adapun indeks dolar AS yang melacak pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya terpantau melemah 0,028 poin atau 0,03 persen ke level 90.103 pada pukul 10.30 WIB.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pergerakan nilai tukar hari ini salah satunya akan dipengaruhi oleh perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang kembali dilakukan oleh pemerintah hingga 8 Februari 2021.
Selain itu, pasar juga masih mencerna keputusan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan.
Baca Juga
Dari luar negeri, pelantikan Joe Biden sebagai Presiden baru AS kemungkinan masih akan menjadi sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah.
"Periode bulan madu dari sentimen Pelantikan Joe Biden masih akan berlanjut dan dipredikisi akan memperkuat nilai tukar rupiah," katanya saat dihubungi pada Kamis (21/1/2021).
Di sisi lain, Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantor mengatakan sinyal mundurnya stimulus AS justru dapat merugikan Indonesia lebih dari negara berkembang lainnya, mengingat sensitivitas mata uang rupiah terhadap suku bunga AS.
Secara historis, rupiah terdepresiasi hingga -3,4 persen ketika imbal hasil AS naik dengan cepat, yang terburuk di antara sembilan mata uang negara berkembang yang dilacak oleh Bloomberg.
Tetapi hal sebaliknya juga bisa terjadi, yakni aset Indonesia akan mengungguli negara berkembang lainnya dalam sentimen risiko, terutama jika ekonomi global tetap dibanjiri dengan kelebihan likuiditas karena The Fed terus membeli obligasi secara agresif sementara AS mengeluarkan tagihan stimulus yang besar.
"Kami juga akan menyoroti kenaikan imbal hasil treasury AS baru-baru ini yang mungkin didorong oleh siklus reflasi perdagangan - tidak menujukkan kenaikan yang berkelanjutan dalam imbal hasil AS," kata Satria.