Bisnis.com, JAKARTA - Penetapan perluasan stimulus AS yang menjadi program utama Presiden Joe Biden sangat berpengaruh kepada nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Setiap sinyal mundurnya stimulus AS dapat merugikan Indonesia lebih dari negara berkembang lainnya, mengingat sensitivitas mata uang lokal terhadap suku bunga AS," kata Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro.
Secara historis, rupiah terdepresiasi hingga -3,4 persen ketika imbal hasil AS naik dengan cepat, yang terburuk di antara sembilan mata uang negara berkembang yang dilacak oleh Bloomberg.
Tetapi hal sebaliknya juga bisa terjadi, yakni aset Indonesia akan mengungguli negara berkembang lainnya dalam sentimen risiko, terutama jika ekonomi global tetap dibanjiri dengan kelebihan likuiditas karena The Fed terus membeli obligasi secara agresif sementara AS mengeluarkan tagihan stimulus yang besar.
"Kami juga akan menyoroti kenaikan imbal hasil treasury AS baru-baru ini yang mungkin didorong oleh siklus reflasi perdagangan - tidak menujukkan kenaikan yang berkelanjutan dalam imbal hasil AS," kata Satria.
Faktanya, lonjakan imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun telah menembus 1 persen untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan. Namun, kenaikan ini tidak dibarengi dengan peningkatan volatilitas, dengan indeks volatilitas CBOE VIX tetap stabil di 20-24, dibandingkan dengan 40,28 pada bulan Oktober.
Baca Juga
"Pandangan kami di sini adalah imbal hasil AS dapat terus rendah untuk beberapa waktu karena The Fed, yang menyadari kebutuhan pinjaman yang tinggi dari Departemen Keuangan AS, ingin menjaga biaya pinjaman tetap rendah dan bahkan mungkin melakukan kontrol imbal hasil," ujar Satria.
Biden sendiri akan mengeluarkan stimulus jumbo untuk mengatasi Covid-19 dan membantu upah minimum masyarakat AS. Besaran stimulusnya mencapai US$ 1,9 triliun atau sekitar Rp 26.660 triliun (kurs Rp14.100/dolar AS).